Kamis, 04 Februari 2010

Ad-dinul Islam

Kata Islam, sejatinya secara generik memiliki beberapa makna. Di antara makna-makna tersebut adalah; pertama, Islam bermakna selamat atau sentosa. Kedua, Islam dapat juga bermakna damai atau ketentraman. Ketiga, Islam dapat juga bermakna tangga, jenjang, atau tingkat. Keempat, Islam bermakna tunduk, patuh atau pasrah secara total. Sedangkan, secara istilah, kata Islam sering diartikan dengan, jalan untuk kebaikan dan keselamatan manusia di dunia dan akhirat, yang ia (Islam), merupakan jalan yang dibawa oleh rasulullah Muhammad sallallahu’alaihi wassalam.

Secara khusus, kata Islam biasanya digandengkan dengan kata ad-din (baca addin). Kamus al-Munawwir (1997), mengartikan sebagai, hutang-piutang, maut atau kematian, agama atau kepercayaan, aturan, undang-undang, tingkah laku adat kebiasaan, dsb. Menurut al-Ma’luf, sebagaimana dikutip Syamsul Hidayat (1998) mengatakan, jika dilihat dari asalnya, kata addin merupakan masdar dari kata kerja dana-yadinu, jamaknya al-adyan. Namun, kata kerja ini juga memiliki masdar yang lain, yaitu al-dayn. Secara etimologi kata ini memiliki beberapa arti, di antaranya, hutang, perhitungan, pembalasan, atau imbalan, thaat, agama, adat istiadat serta jalan hidup.
Dengan pengertian-pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan, kalimat addinul Islam dapat dimaknai bahwa, agama Islam, adalah agama yang dapat membawa kedamaian dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Tentunya, tingkat kedamaian dan keselamatan masing-masing pemeluknya berbeda satu sama lain. Ukuran tingkatan atau jenjang-jenjang tersebut dapat diukur secara kualitatif berdasarkan tingkat kepasrahan yang dimiliki oleh masing-masing pemeluknya.
Kepasrahan yang dimaksud adalah perasaan yang paling dalam dari diri manusia terhadap Tuhannya (Allah Ta’ala). Sehingga, ia sebagai muslim sejati, merasakan kehadiran Rab-nya dan selalu dalam setiap saat hidupnya merasa dilingkupi Tuhannya, ke mana dan di mana pun dia berada di alam ini. Ia tidak akan mungkin berani untuk secara sengaja melakukan perbuatan apapun yang menurut mata batin dan kesadarannya merupakan perlawanan dari sikap atas kepasrahan terhadap Tuhannya.
Al-Qur’an menjelaskan, “Sesungguhnya, agama (yang diridloi) disisi Allah hanyalah Islam” (Q.s. Ali-Imran ayat 19). kata Islam dalam ayat ini dapat diartikan sebagai tunduk, patuh atau pasrah. Sehingga, dengan menggabungkan dengan penjelasan di atas, Allah dengan jelas berfirman bahwa Ia hanya merestui suatu keyakinan Islam pada diri manusia terhadap-Nya, yang keyakinan itu didasari sikap kepasrahan yang menyeluruh atau total.
Sukidi (2001) mengatakan, bahwa kesadaran seperti ini disebutnya sebagai kesadaran ketuhanan atau takwa yang bersifat monoteistik (Tauhid). Ia merupakan implikasi langsung dari al-Islam, yang secara lughawi, sebagaimana dijelaskan diatas, dapat berarti sikap pasrah. Muhammad Asad juga berkomentar, “behold the only (true) religion in the sight of God is (man’s) self-surrender into Him”. Artinya, satu-satunya agama yang benar dalam penglihatan Tuhan adalah sikap berserah diri kepada-Nya.
Dua pendapat di atas, walau sesungguhnya dalam konteks seluruh Nabi-Nabi yang pernah diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala, semakin memperkuat deskripsi, bahwa dasar agama yang dibawa oleh Muhammad sallu’alaih adalah sama dengan yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul pendahulunya, yakni sikap kepasrahan atau ketundukkan yang total pada Rabnya saja.
Lebih jelasnya lagi, dalam al-Qur’an Allah ta’ala juga berfirman, sebagai penegasan: “Dan (aku telah diperintahkan), hadapkanlah mukamu kepada agama (itu) dengan tulus dan ikhlas, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik” (Q.s. [10]: 105). Dengan jelas sekali ayat ini mengisyaratkan adanya makna addin yang harus diikuti dengan ketulusan dan sikap tauhid (Syamsul Hidayat, 1998). Sedang satu-satunya agama yang dirujuk untuk diikuti adalah kepasrahan yang total terhadap Tuhannya, yakni dalam kepasrahan yang total.
Dasar dari penegasan ini adalah, bahwa perasaan ketergantungan terhadap sesuatu Yang Mutlak dan merentang dalam seluruh aspek kehidupan, sesungguhnya merupakan fitrah dari batinnya yang terdalam. Oleh karenanya, dengan tegas Allah juga telah memerintahkan pada kita, sebagai pemeluk atau penganut sikap kepasrahan yang total kepada-Nya, untuk selalu menghadapkan wajah pada rasa kefitrahan tersebut. Seperti termaktub dalam Al-Qur’an, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (surat Ar-Rum: 30).
Dalam keterangan al-Qur’an terjemah departemen Agama Indonesia (edisi revisi) dijelaskan, bahwa fitrah Allah maksudnya adalah ciptaan Allah subhanahu wata’ala. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama, yaitu agama Tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama kepada Tauhid itu hanyalah disebabkan oleh pengaruh lingkungan sekitarnya.
Al-Qur’an menyebutkan, “barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi” (Surat Ali-‘Imran ayat 85). Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar murtad setelah masuk Islam, dan ia menyesal atas kemurtadannya. Ia minta kepada kaumnya untuk mengutus seseorang menghadap kepada Rasulullah sallu’alaih, untuk menanyakan apakah diterima tobatnya. Maka turunlah ayat tersebut diatas (sampai ayat 89), dan disampaikan oleh utusan itu kepadanya, sehingga ia kembali Islam.
Dalam suatu riwayat dikemukakan, bahwa al-Harts bin Suwaid menghadap kepada Nabi saw., dan masuk Islam. Kemudian pulang kepada kaumnya dan keluar lagi. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Surat Ali-Imran ayat 85 sampai 89). Ayat itu dibacakan kepadanya oleh salah seorang kaumnya. Maka berkata al-Harts, “sesungguhnya engkau benar, dan Rasulullah lebih benar daripadamu, dan sesungguhnya Allah yang paling benar di antara tiga”. Kemudian ia kembali masuk Islam dan menjadi seorang Islam yang patuh (Qamaruddin Shaleh, dkk. 1996).
Dapat diduga kemurtadan yang dimaksud berada pada dua sisi, yaitu kembali melakukan penyembahan berhala atau musyrik sebagai agama nenek moyangnya, sekaligus berlepas dari (tidak pasrah) terhadap berbagai aturan yang diturunkan Allah sebagai konsekuensi keber-Islamannya. Hal ini melanggar fitrah ber-Dinul Islam itu sendiri. Sebab, kata yang menggunakan huruf-huruf dal-ya’-nun, seperti dana-yadinu, din atau dain melukiskan terdapatnya hubungan di antara dua pihak yang salah satunya memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada kedudukan yang satunya.
Dari sini diketahui kata ad-din juga merepresentasikan hubungan antara makhluk (manusia) dengan Khaliqnya yakni Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Wujud hubungan tersebut terdapat dalam sikap batinnya (yang tulus ikhlas) serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya serta tercermin dalam sikap hidup (perilaku) kesehariannya (M Quraish Shihab, 1997).
Kesimpulannya, seorang Muslim (pemeluk kepasrahan dan Tauhidullah) tidak boleh “secuilpun” dari bagian dirinya, baik dalam aspek-aspek ushul (dasar) sebagai tiang Islam, seperti shalat, puasa ramadlan, dll., Maupun muamalah duniawiyahnya sebagai furu’ (cabang), lepas dari sikap kepasrahan terhadap-Nya. Caranya ?
Ada dua hal yang pasti ada dalam diri setiap pemeluk addin yang telah pasrah total terhadap Tuhan-Nya. Pertama, dia bukanlah tipe orang yang berpura-pura dalam pokok-pokok agama yang hatinya penuh dengan kepalsuan. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan sahalatnya) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (Q.s. An-Nisaa’ ayat 142).
Sitiran Allah tersebut pasti menghunjam pada sanubari setiap orang Islam yang benar-benar pasrah dan tunduk pada-Nya. Ia takut seandainya Allah membiarkannya seolah-olah beriman, tetapi suatu saat Allah akan memberinya azab. Ia juga tidak akan sudi menukarkan ridla-Nya dengan sesuatu yang “remeh-temeh” karena keriyaannya.
Kedua, seorang Muslim yang telah tunduk, atau pasrah pada titah-Nya, hati, pikiran dan lakunya tidak akan mungkin secara sengaja mengajak ke lembah perbuatan yang menjauhkan dari cahaya-Nya. Dalam posisi apa dan di mana pun dalam segala aspek kehidupannya selalu penuh dengan Nur Allah. Ia tidak akan memisahkan aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budayanya, pendeknya seluruh aspek muamalahnya tidak terpisahkan dari hasratnya untuk menuju pada Allah Subhanahu Wata’ala dan agar dipenuhi oleh celupan-celupan hidayah-Nya. Wallahu a’lam bish shawab.•

0 komentar:

Posting Komentar

 

Obrolan

Ads Banner

Followers

Catatan Tarbiyah Copyright © 2009 Daya Mandiri Designed by Rizky Priyatna