Selasa, 11 Mei 2010

Teladan dari dua Umar

Umar bin Abdul Aziz membersihkan kedua tangannya. la berdiri. Di depannya nampak makam Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah Bani Umayyah sebelumnya. Berdasarkan wasiat al marhum, Umar bin Abdul Aziz menduduki jabatan khalifah. Baru saja Umar bangkit berdiri, tiba-tiba ia mendengar suara riuh. “Ada apa?”, tanya Khalifah kedelapan Bani Umayyah itu heran.

“Ini kendaraan Anda, wahai Amirul Mukminin,” ujar salah seorang sambil menunjuk sebuah kendaraan mewah yang khusus disiapkan untuk sang khalifah.

Dengan suara gemetar dan terbata bata karena kelelahan dan kurang tidur, Umar berkata, “Apa hubungannya denganku? Jauhkanlah kendaraan ini. Se¬moga Allah memberkahi kalian.” Lalu ia berjalan ke arah seekor keledai yang menjadi tunggangannya selama in!

Baru saja ia duduk di atas punggung hewan itu, serombongan pengawal datang berbaris mengawal di belakangnya. Di tangan masing masing tergenggam tombak tajam mengkilat. Mereka siap menjaga sang
khalifah dari marabahaya.

Melihat keberadaan pasukan itu, Umar menoleh heran dan berkata, “Aku tidak membutuhkan kalian. Aku hanyalah orang biasa dari kalangan kaum Muslimin. Aku berjalan pagi hari dan sore hari sama seperti rakyat biasa.”

Selanjutnya, Umar berjalan bersama orang oprang menuju masjid. Dari segala penjuru orang orang pun berdatangan. Ketika mereka sudah berkumpul, Umar bin Abdul Aziz berdiri. Setelah memuji Allah dan ber-shalawat pada Nabi dan para sahabatnya, ia berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya aku mendapat cobaan dengan urusan ini (khilafah) yang tanpa aku dimintai persetujuan terlebih dulu, memintanya atau pun ber¬musyawarah dulu dengan kaum Muslimin. Sesungguhnya, aku telah melepaskan baiat yang ada di pundak kalian untukku. Untuk selanjutnya silakan pilih dari kalangan kalian sendiri seorang khalifah yang kalian ridhai.’

Mendengar ucapannya itu, orang orang pun berteriak dengan satu suara, “Kami telah memilihmu, wahai Amirul Mukminin. Kami ridha terhadapmu. Aturlah urusan kami dengan karunia dan berkah Allah.’

Banyak hal yang bisa kita teladani dari sikap hidup Umar bin Abdul Aziz. Selain sikap zuhud dan kesederhanaan, kita juga belajar wara’ (menjauhi syubhat). Kisah dirinya ketika memadamkan lampu minyak saat menerima kedatangan anaknya, diabadikan oleh sejarah. la tak mau menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi atau keluarga.

Kits bandingkan dengan sikap pemimpin saat ini. Sulit membedakan mana harta mereka pribadi dan mana milik pemerintah. Berapa banyak para pejabat yang tetap menggunakan fasilitas negara saat kampanye yang nota bene untuk kepentingan sendiri.

Begitu pun setelah mereka berkuasa. Bahkan, mereka yang selama ini dikenal dekat dengan rakyat menjadi jauh. Akibatnya, mereka sendiri merasa tidak aman. Kemana pun pergi selalu dijaga ketat oleh para pengawal.

Kenyataan ini akan sangat bertolak belakang jika kita tengok jauh lagi ke belakang. Pada akhir abad 17 Hijriyah, misalnya. Saat itu kaum Muslimin sebenarnya sedang menikmati kemenangan pasukan mereka di Irak dan Syam. Namun di tengah kegembiraan itu, mereka dikejutkan oleh datangnya musim kemarau berkepanjangan. Selama sembilan bulan hujan tak turun. Bumi gersang dan penuh debu. Hewan dan tanaman menjadi korban.

Kondisi Madinah tak terlalu buruk. Di bawah pemerintahan Umar bin Khaththab, Khalifah Kedua setelah Rasulullah saw wafat, penduduk Madinah dibiasakan menyimpan makanan. Akibatnya, dari berbagai daerah masyarakat datang berbondong bondong, mengungsi di kota Nabi itu. Selama beberapa saat Madinah bisa bertahan. Tapi lama kelamaan penduduknya makin tertekan. Mereka mulai kekurangan bahan makanan. Lalu apa yang dilakukan Umar bin Khaththab kala itu?

Ketika kelaparan mencapai puncaknya, Umar pernah disuguhi remukan roti yang dicampur samin. Umar memanggil seorang Badui dan mengajaknya makan bersama. Umar tidak menyuapkan makanan ke mulutnya sebelum Badui itu melakukannya lebih dahulu. Orang Badui sepertinya benar benar menikmati makanan itu. “Agaknya, Anda tak pernah mengenyam lemak?” tanya Umar.

“Benar,” kata Badui itu. “Saya tak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun. Saya juga sudah lama tidak menyaksikan orang orang memakannya sampai sekarang,” tambahnya.

Mendengar kata kata sang Badui, Umar bersumpah tidak akan memakan lemak sampai semua orang hidup seperti biasa. Ucapannya benar benar dibuktikan. Kata-katanya diabadikan sampai saat ini, “Kalau rakyatku kelaparan, aku ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenyangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya,” ujar Umar.

Padahal, saat itu Umar bisa saja menggunakan fasilitas negara. Kekayaan Irak dan Syam sudah berada di tangan kaum Muslimin. Tapi tidak. Umar lebih memilih makan bersama rakyatnya.

Kita diberikan pelajaran sangat berharga oleh dua Umar. Dengan meneladani kehidupan dua khafrfah itu, para pemimpin akan merasakan penderitaan rakyat. Perasaan inilah yang akan melipatgandakan perjuangannya. Bagaimana mungkin seorang pemimpin akan bisa berjuang kalau ia sendiri tak merasakan apa yang dirasakan rakyatnya. Sikap zuhud dan kedekatan dengan rakyat ini akan menenteramkan masyarakat. Kedekatan pada rakyat akan melahirkan kecintaan. Bayangkan dengan diri Rasulullah saw. Bagaimana mungkin rakyat tidak dekat dengannya kalau menjelang ajal pun beliau masih menyebut nyebut, “Ummati, ummati, ummati (umatku, umatku, umatku).” Kepedulian Rasulullah saw pada umatnya nyaris tak berbalas.

Kecintaan inilah yang akan menciptakan rasa aman. Kedekatan dengan rakyat berbanding lurus dengan tingkat kenyamanan seorang pemimpin. Semakin dekat dirinya dengan rakyat, semakin tinggi juga tingkat rasa aman dirinya. Inilah yang menjelaskan mengapa kedua Umar, baik Umar bin Abdul Aziz maupun Umar bin Khaththab tak pernah mau dikawal. Mereka tak memerlukan pengawal karena merasa dirinya aman. Mereka terbiasa berkeliling di tengah gelapnya malam. Mereka juga biasa tidur tiduran di tempat umum. Tak ada rasa takut dan khawatir dalam diri mereka. Penyebabnya: mereka berlaku adil, bersih, dekat dengan rakyat, maka rakyat pun mencintainya.

[Sabili)

Senin, 10 Mei 2010

Kisah Pembunuh 99 Orang



Dalam sebuah Hadits yang diketengahkan oleh Bukhari dan Muslim secara sepakat disebutkan bahwa: dahulu di kalangan orang-orang yang sebelum kalian -yakni kaum Bani Israil- ada seorang lelaki yang telah membunuh 99 orang. Lelaki ini telah berlumuran darah. Jari-jemarinya, pakaiannya, tangan, dan pedangnya, semuanya basah oleh darah, karena telah membunuh 99 orang dari kalangan orang-orang yang jiwanya terpelihara. Padahal seandainya semua penduduk bumi dan penduduk langit bersatu-padu untuk membunuh seorang lelaki muslim, tentulah Allah akan mencampakkan mereka semuanya dengan muka di bawah ke dalam neraka. Maka terlebih lagi dengan seseorang yang datang dengan pedang yang terhunus, sikap yang kejam, jahat, lagi emosi, akhirnya dia membunuh 99 orang.

Lelaki pelaku kejahatan ini telah melumuri dirinya dengan darah banyak orang dan membinasakan banyak jiwa yang diharamkan oleh Allah membunuhnya serta mencabut nyawa mereka. Sesudah dirinya berlumuran dengan kejahatan dan dosa besar ini, ia menyadari kesalahannya terhadap Allah. Ia pun ber­pikir tentang hari pertemuannya dengan Allah nanti, teringat saat hari kedatangannya kepada Allah untuk mempertanggungjawab­kan semua dosanya. Dia meyakini bahwa tiada yang mengampuni dosa, yang menghukumnya, yang menghisabnya, dan yang membenci seorang hamba karena dosa, kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Selanjutnya, ia berpikir untuk kembali dan bertaubat kepadaNya agar Dia membebaskannya dari neraka.

Sesungguhnya para raja pun
bila budak-budaknya telah beruban dalam perbudakannya
mereka pasti akan memerdekakannya
dengan pembebasan yang baik
Dan Engkau, wahai penciptaku, jauh lebih murah daripada itu
Sekarang sungguh aku telah beruban dalam penghambaan diri
maka bebaskanlah diriku dari neraka

Maka keluarlah ia dengan pakaian yang berlumuran darah, sedang pedangnya masih meneteskan darah segar dan jari-­jemarinya berbelepotan darah. Ia datang bagaikan seorang yang mabuk, terkejut, lagi ketakutan seraya bertanya-tanya kepada semua orang: “Apakah aku masih bisa diampuni?”

Orang-orang berkata kepadanya: “Kami akan menunjukkanmu kepada seorang rahib yang tinggal di kuilnya, maka sebaiknya kamu pergi ke sana dan tanyakanlah kepadanya apakah dirimu masih bisa diampuni.”

Dia menyadari bahwa tiada yang dapat memberi fatwa dalam masalah ini, kecuali hanya orang-orang yang ahli dalam hukum Allah. Ia pun pergi ke sana, ke tempat rahib itu, seorang ahli ibadah dari kalangan kaum Bani Israil yang belum pernah merasakan manisnya ilmu dan tidak pernah membekali dirinya dengan pengetahuan, penelitian, dan penguasaan terhadap masalah-­masalah agama. Dia hanya melakukan ibadahnya menurut tata cara yang dibuat-buatnya sendiri tanpa ada dalil, baik dari syari’at maupun agama.

Perhatikan QS. AL-HADJlD (57): 27, yang artinya:

“Dan mereka mengada-adakan kerahiban, padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-­adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak meme­liharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. “

Sesungguhnya agama itu bila tidak dibarengi dengan cahaya hidayah dan ilmu, sama dengan kesesatan dan bid’ah yang bertumpang-tindih antara yang satu dan yang lainnya.

Ia pun pergi dengan langkah yang cepat dengan penuh penyesalan karena dosa-dosa yang telah dilakukannya, lalu ia mengetuk pintu kuil si rahib tersebut.

Rahib tersebut mengharamkan kepada dirinya sendiri: daging, makanan yang baik, pakaian yang baik, dan kawin, padahal Allah tidak mengharamkan semuanya itu atas dirinya. Dia lakukan hal tersebut karena kejahilannya tentang maksud Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia pun keluar menyambutnya.

Lelaki pembunuh ini masuk dan ternyata pakaiannya masih berlumuran darah segar, membuat si rahib kaget dan terkejut bukan kepalang. Si rahib berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu.”

Sambutan ini jelas bukan tata cara yang biasa digunakan oleh para ulama dan para da’i yang menghendaki hidayah bagi manusia, karena pintu Allah selalu terbuka; pemberiannya senantiasa datang dan pergi; pahala-Nya dianugerahkan; tangan kekuasaan­Nya senantiasa terbuka pada malam hari untuk menerima taubat orang-orang yang berdosa pada siang harinya, dan senantiasa terbuka pada siang hari untuk menerima taubat orang-orang yang berdo’a pada malam harinya, hingga matahari terbit dari arah tenggelamnya (hari Kiamat).

Si pembunuh bertanya: “Wahai rahib ahli ibadah, aku telah mem­bunuh 99 orang, maka masih adakah jalan bagiku untuk bertaubat?”

Rahib yang jahil itu spontan menjawab: “Tiada taubat bagimu!”
Mahasuci Allah, apakah engkau menutup pintu yang selalu dibuka oleh Allah? Apakah engkau memutuskan tali yang telah dijulurkan oleh Allah? Apakah engkau mencegah hujan yang telah diturunkan oleh Allah? Apakah engkau menutup jalan masuk yang telah dibuat oleh Allah?

Padahal Allahlah yang menciptakan; Allahlah yang telah menetapkan; Allahlah yang memberikan ampunan; Allahlah yang menghisab; dan Allahlah yang berbisik kepada seorang hamba pada hari yang tiada bermanfaat lagi harta benda dan anak-anak, kecuali orang yang menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih, lalu Allah menyuruhnya mengakui dosa-dosanya, kemu­dian Allah mengampuninya jika Dia menghendaki. Maka apakah urusanmu, hai rahib, sehingga engkau ikut campur dalam urusan antara para hamba dan Tuhannya?

Apakah engkau memang seorang yang ahli untuk memberi fatwa dalam masalah ini? Bukan, engkau bukanlah seorang yang ahli dalam bidang ini. Hal ini hanya bisa ditangani oleh para ulama yang mengamalkan ilmunya lagi mengetahui tujuan syari’at-Nya.

Akhirnya, si penjahat ini putus asa memandang kehidupan ini. Di matanya dunia ini terasa gelap; kehendak dan tekadnya melemah; dan keindahan yang terlihat di wajahnya menjadi buruk. Ia pun mengangkat pedangnya dan membunuh rahib ini sebagai balasan yang setimpal untuknya guna menggenapkan 100 orang manusia yang telah dibunuhnya.

Selanjutnya, ia keluar menemui orang-orang guna menanya­kan kembali kepada mereka, bukan karena alasan apa pun, melainkan karena jiwanya sangat menginginkan untuk taubat dan kembali ke jalan Tuhannya serta menghadap kepada-Nya.

Ia bertanya kepada mereka: “Masih adakah jalan untuk ber­taubat bagiku?”

Mereka menjawab: “Kami akan menunjukkanmu kepada Fulan bin Fulan, seorang ulama, bukan seorang rahib, yang ahli tentang hukum Tuhan.”

Sehubungan dengan pengertian ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan­nya melalui ayat-ayat berikut, yaitu firman-Nya:

Dalam QS. AZ-ZUMAR (39): 9, yang artinya:

“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”

Dalam QS. AL-­MUJAADALAH (58): 11, yang artinya:

”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. “

Dalam QS. AL-ANKABUUT (29): 49

“Sebenarnya Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. “

Dalam QS. ALI ‘IMRAN (3): 18, yang artinya:

”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). “

Si pembunuh itu pergi menemui orang alim itu yang saat itu berada di majelisnya sedang mengajari generasi dan mendidik umat.

Orang alim itu pun tersenyum menyambut kedatangannya.
Begitu melihatnya, ia langsung menyambutnya dengan hangat dan mendudukkannya di sebelahnya setelah memeluk dan menghormatinya. Ia bertanya: “Apakah keperluanmu datang kemari?”

Ia menjawab: “Aku telah membunuh 100 orang yang terpelihara darahnya, maka masih adakah jalan taubat bagiku?”

Orang alim itu balik bertanya: “Lalu siapakah yang menghalang-halangi antara kamu dengan taubat dan siapakah yang mencegahmu dari melakukan taubat? Pintu Allah terbuka lebar bagimu, maka bergembiralah dengan ampunan; bergembiralah dengan perkenan dari-Nya; dan bergembiralah dengan taubat yang mulus.”

Ia berkata: “Aku mau bertaubat dan memohon ampun kepada Allah.”

Orang alim berkata: “Aku memohon kepada Allah semoga Dia menerima taubatmu.”

Selanjutnya, orang alim itu berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau tinggal di kampung yang jahat, karena sebagian kampung dan sebagian kota itu adakalanya memberikan pengaruh untuk berbuat kedurhakaan dan kejahatan bagi para penghuninya. Barang siapa yang lemah imannya di tempat seperti ini, maka ia akan mudah berbuat durhaka dan akan terasa ringanlah baginya semua dosa, serta menggampangkannya untuk melakukan tindakan menen­tang Tuhannya, sehingga akhirnya ia terjerumus ke dalam kegelapan lembah dan jurang kesesatan. Akan tetapi, apabila suatu masya­rakat yang di dalamnya ditegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, maka akan tertutuplah semua pintu kejahatan bagi para hamba.”

“Oleh karena itu, keluarlah kamu dari kampung yang jahat itu menuju ke kampung yang baik. Gantikanlah tempat tinggalmu yang lalu dengan kampung yang baik dan bergaullah kamu dengan para pemuda yang shalih yang akan menolong dan membantumu untuk bertaubat.”

Si pembunuh itu pun pergi dengan langkah yang cepat dan hati yang gembira dengan berita dan pengharapan ini. Ketika ia telah berada di tengah jalan, ia jatuh sakit dan sekaratul maut datang menjemputnya.

Dalam QS. QAAF (50): 19, yang artinya:

“Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.”

Selanjutnya, dia mengucapkan kalimat laa ilaaha illallooh, lalu meninggal dunia. Dia belum pernah shalat, belum pernah puasa, belum pernah bershadaqah, belum pernah zakat, dan belum pernah mengerjakan kebaikan sama sekali, tetapi dia kembali kepada Allah dengan bertaubat, menyesal, berharap, dan takut kepada-Nya.

Maka datanglah malaikat rahmat dan malaikat adzab untuk mengambil dan menerima nyawanya dari malaikat maut yang mencabutnya. Mereka terlibat perselisihan yang sengit dalam memperebutkannya. Malaikat rahmat berkata: “Sesungguhnya dia datang untuk bertaubat dan menghadap kepada Allah menuju kepada kehidupan yang taat, kembali kepada Allah, dan dilahirkan kembali melalui taubatnya itu. Oleh karena itu, dia adalah bagian kami.”

Malaikat adzab berkata: “Sesungguhnya dia belum pernah melakukan suatu kebaikan pun. Dia tidak pernah sujud, Tidak pernah shalat, tidak pernah zakat, dan tidak pernah bershadaqah, maka dengan alasan apakah dia berhak mendapatkan rahmat? Bahkan dia termasuk bagian kami.”

Allah pun mengirimkan malaikat lain dari langit untuk melerai persengketaan mereka. Selanjutnya, malaikat yang baru diutus itu pun datang kepada mereka yang telah menjadi dua golongan yang bertengkar.

Malaikat yang baru berkata kepada mereka: ”Tahanlah oleh kalian. Sesungguhnya solusinya menurutku ialah hendaklah kalian sama-sama mengukur jarak antara lelaki ini dan tanah yang ia tinggalkan, yaitu kampung yang jahat, dan jarak antara dia dan kampung yang ditujunya, yaitu kampung yang baik.”

Ketika mereka sedang sama-sama mengukur, Allah memerin­tahkan kepada kampung yang jahat untuk menjauh dan kepada kampung yang baik untuk mendekat.

Menurut riwayat lain disebutkan bahwa sesungguhnya lelaki pembunuh 100 orang ini menonjolkan dadanya ke arah kampung yang baik. Akhirnya, mereka menjumpai mayat lelaki jahat ini lebih dekat kepada penduduk kampung yang baik dan mereka memutuskan bahwa lelaki ini adalah bagian untuk malaikat rahmat. Malaikat rahmat pun mengambilnya untuk dimasukkan ke dalam surga.


(KISAH LELAKI INI DISEBUTKAN DALAM SHAHIH BUKHARI NO. 3395, SHAHIH MUSLIM NO. 6957, DAN AHMAD NO.10924.)
 

Obrolan

Ads Banner

Followers

Catatan Tarbiyah Copyright © 2009 Daya Mandiri Designed by Rizky Priyatna