Merumuskan pengertian agama bukan suatu perkara mudah, dan ketidak sanggupan manusia untuk mendefinisikan agama karena disebabkan oleh persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena itu tidak mengherankan jika secara internal muncul pendapat-pendapat yang secara apriori menyatakan bahwa agama tertentu saja sebagai satu-satunya agama samawi, meskipun dalam waktu yang bersamaan menyatakan bahwa agama samawi itu meliputi Islam, Kristen dan Yahudi.
Sumber terjadinya agama terdapat dua katagori, pada umumnya agama Samawi dari langit, agama yang diperoleh melalui Wahyu Illahi antara lain Islam, Kristen dan Yahudi, dan agama Wad’i atau agama bumi yang juga sering disebut sebagai agama budaya yang diperoleh berdasarkan kekuatan pikiran atau akal budi manusia antara lain Hindu, Buddha, Tao, Khonghucu dan berbagai aliran keagamaan lain atau kepercayaan.
Ada orang berkata, "Yahudi dan Nashrani bukan orang kafir karena mereka termasuk Ahli Kitab dan pemeluk agama samawi yang semuanya berasal dari Allah. Karenanya antara orang Islam dengan Yahudi dan Nashrani tidak ada perbedaan."
Kita Jawab : Syubhat ini banyak mengandung kesalahan, berikut keterangannya:
Kesalahan pertama, perkataan mereka "Yahudi dan Nashrani bukan orang kafir," bertentangan dengan nash Al Qur'an dan Sunnah Nabawiyah yang sangat jelas. Firman Allah Ta'ala:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
"Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam." (QS. Al Maidah: 72)
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ
"Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa." (QS. Al Maidah: 73)
Sebagian mereka mengklaim bahwa Isa bin Maryam adalah tuhan dan sebagian yang lain berkata bahwa Isa adalah anak Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
"Orang-orang Yahudi berkata: 'Uzair itu putra Allah' dan orang Nasrani berkata: 'Al Masih itu putra Allah'. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknati mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?" (QS. Al Taubah: 30)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
"Demi Zat yang jiwa Muhammad berada dalam tangan-Nya, tidak seorangpun dari umat ini yang mendengarku, baik ia seorang Yahudi atau Nashrani, lantas ia meninggal lantas dan tidak beriman terhadap risalahku ini; melainkan ia menjadi penghuni neraka.” (HR. Muslim no. 153 dalam Kitab al Iiman)
Kesalahan kedua, dalam perkataan mereka, "bahwa Yahudi dan Nashrani bukan orang kafir karena mereka termasuk ahli kitab dan pemeluk agama samawi yang semuanya berasal dari Allah".
Memang benar bahwa Yahudi dan Nahsrani termasuk ahli kitab dan pemeluk agama samawi. Hanya saja perkataan yang benar ini memiliki maksud yang batil. Makna mereka sebagai ahli kitab bukan berarti mereka beriman, karena mereka telah kufur kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Orang Yahudi telah membunuh para Nabi sedangkan Nashrani meyakini Isa sebagai tuhan. Keduanya, sama-sama, merubah kitab mereka dan membedakan antara beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasul-Nya, beriman kepada sebagian Rasul dan mengingkari sebagian rasul yang lain, kemudian Allah menyebutkan tempat kembali mereka, "Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk." (QS. Al Bayyinah: 6)
Makna mereka sebagai ahli kitab bukan berarti mereka beriman, karena mereka telah kufur kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam.
Mereka memang sebagai ahli kitab, namun mereka tidak mengenal Tauhidullah (KeEsaan Allah) 'Azza wa Jalla, karenanya ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, beliau berpesan; "Kamu akan mendatangi kaum dari ahli kitab, maka yang pertama kali harus kamu dakwahkan agar mereka mentuahidkan Allah Ta'ala." (HR. Al Bukhari).
Mereka memang sebagai ahli kitab, namun mereka tidak mengenal Tauhidullah (KeEsaan Allah) 'Azza wa Jalla,
Allah juga berfirman tentang Yahudi dan Nashrani,
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ
"Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan." (QS. Al Baqarah: 79)
Yahudi dan Nashrani memang ahli kitab, tapi mereka kufur kepada kitab-kitab mereka sendiri, merubahnya, dan mencela Allah Ta'ala, sebagaimana yang terdapat dalam hadits shahih dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda, "Allah Ta'ala berfirman,
كَذَبَنيِ اِبْنُ اَدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ فَاِنَّمَا تَكْذِيْبُهُ اِيَّايَ فَقَوْلُهُ لَنْ يَعْبُدَنِيْ كَمَا بَدَاءَنِي وَلَيْسَ اَوَّلَ اْلخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلَيَّ مِنْ اِعَادَتِهِ وَاَمَّاشَتْمُهُ اِيَّايَ فَقَوْلُهُ اِتَّخَذَ اللهُ وَلَدًا وَاَنَا اْلاَحَدُ الصَّمَدُ لَمْ اَلِدْ وَلَمْ اُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لِي كُفُوًّا اَحَدٌ
"Anak Adam (manusia) telah mendustakan dan mencela-Ku, padahal dia tidak pantas berbuat demikian. Adapun pendustaannya terhadap-Ku dengan dia berkata, "Dia (Alah) tidak akan mengembalikanku sebagaimana ia menciptaanku", bukankah menciptakan untuk pertama kali lebih susah daripada mengembalikannya pada bentuk semula?. Adapun cercaannya kepada-Ku dengan dia berkata, "Allah mengambil seorang putra," padahal Aku Dzat Yang Maha Esa (tunggal) dan Maha Tumpuan, Aku tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tak ada seorangpun yang setara dengan-Ku." (HR. Al Bukhari)
Yahudi dan Nashrani memang ahli kitab, tapi mereka kufur kepada kitab-kitab mereka sendiri, merubahnya, dan mencela Allah Ta'ala,
Mencela berarti menyifati dengan kerendahan. Sedangkan menuduh Allah punya anak menunjukkan bahwa Dia adalah makhluk atau ada yang mengadakan. Dan ini sebagai puncak penghinaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah Ta'ala berfirman, "Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. . . " (QS. Al Maidah: 64)
Layakkah orang yang mencela Allah, baik dari kalangan ahli kitab ataupun selainnya, layak disebut orang beriman?
Layakkah orang yang mencela Allah, baik dari kalangan ahli kitab ataupun selainnya, layak disebut orang beriman? Semoga Allah melindungi kita agar tidak menjadi orang yang tertipu dan buta.
Kesalahan ketiga, perkataan mereka "Karenanya antara orang Islam dengan Yahudi dan Nashrani tidak ada perbedaan."
Inilah keadilan menurut versi orang-orang dzalim. Padahal sangat jelas terlihat perbedaan yang besar antara orang beriman dengan orang kafir, antara orang yang mengesakan (mentauhidkan) Allah dengan orang yang menyatakan Allah satu oknum dari yang tiga (paham trinitas), dan antara orang yang mengagungkan Allah dengan orang yang menghina-Nya.
Mereka menyatakan Allah punya anak dan istri. Mereka juga mengatakan Allah telah mati dan Dia Ta'ala satu oknum dari tiga tuhan. Apakah keadilan itu dengan menyamakan antara yang hak dengan yang batil?.
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
"Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?," (QS. Al Qalam: 35-36). Jika terhadap orang yang taat dan yang maksiat saja, Allah tidak menyamakan, bagaimana mungkin Dia menyamakan orang yang mukmin dengan yang kafir?
Allah Ta'ala berfirman,
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
"Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu." (QS. Al Jatsiyah: 21)
وَمَا يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَلَا الْمُسِيءُ قَلِيلًا مَا تَتَذَكَّرُونَ
"Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidaklah (pula sama) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal shaleh dengan orang-orang yang durhaka. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran." (QS. Ghaafir: 58)
Bagaimana mungkin Allah menyamakan antara orang beriman yang bisa melihat kebenaran dengan orang kafir yang buta dari kebenaran?.
Bagaimana mungkin Allah menyamakan antara orang beriman yang bisa melihat kebenaran dengan orang kafir yang buta dari kebenaran?.
Allah juga menerangakan, tidak akan menyamakan antara orang berilmu dengan orang yang jahil dalam firman-Nya:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُواْ الألْبَابِ
"Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (QS. Az Zumar: 9)
Adil bukan berarti menyamakan secara keseluruhan. Tapi adil adalah menyamakan dua hal yang semisal. Adil juga bermakna meletakkan sesuatu di tempatnya. Inilah pemahaman yang benar.
Menyandangkan predikat iman dan kebenaran kepada orang kafir tidak bisa disebut keadilan, malahan bagian bentuk kedzaliman.
Menyandangkan predikat iman dan kebenaran kepada orang kafir tidak bisa disebut keadilan, malahan bagian bentuk kedzaliman. Sedangkan orang yang Allah kaburkan cahaya hati dan penglihatan mereka, maka dia melihat kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai kebenaran. Kita berlindung kepada Allah jangan sampai menjadi orang yang tertipu. Kita juga memohon kepada-Nya agar menganugerahkan cahaya kepada kita sehingga bisa melihat kebenaran dan keimanan dan menjauhi kebatilan dan kekafiran.