Sabtu, 27 Februari 2010

Sejarah Kelam Maulid Nabi


Jika kita menelusuri dalam kitab tarikh (sejarah), perayaan Maulid Nabi tidak kita temukan pada masa sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling paham mengenai sunnah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling semangat dalam mengikuti setiap ajaran beliau.

Perlu diketahui pula bahwa -menurut pakar sejarah yang terpercaya-, yang pertama kali mempelopori acara Maulid Nabi adalah Dinasti ‘Ubaidiyyun atau disebut juga Fatimiyyun (silsilah keturunannya disandarkan pada Fatimah). Sebagai buktinya adalah penjelasan berikut ini.

Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.” (Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146)

Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.

Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun). (Dinukil dari Al Maulid, hal. 20)
Fatimiyyun yang Sebenarnya

Kebanyakan orang belum mengetahui siapakah Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun. Seolah-olah Fatimiyyun ini adalah orang-orang sholeh dan punya i’tiqod baik untuk mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi senyatanya tidak demikian. Banyak ulama menyatakan sesatnya mereka dan berusaha membongkar kesesatan mereka.

Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar (Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.”

Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy mengatakan, “Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah kerajaan Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang yang zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.” (Majmu’ Fatawa, 35/127)

Apakah Fathimiyyun Memiliki Nasab sampai Fatimah?

Bani Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun juga menyatakan bahwa mereka memiliki nasab (silsilah keturunan) sampai Fatimah. Ini hanyalah suatu kedustaan. Tidak ada satu pun ulama yang menyatakan demikian.

Ahmad bin ‘Abdul Halim juga mengatakan dalam halaman yang sama, “Sudah diketahui bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang menganggap mereka di atas keimanan dan ketakwaan atau menganggap mereka memiliki silsilah keturunan sampai Fatimah, sungguh ini adalah suatu anggapan tanpa dasar ilmu sama sekali. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Israa’: 36). Begitu juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali orang yang bersaksi pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.” (QS. Az Zukhruf: 86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang artinya), “Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81). Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya silsilah keturunan mereka sampai pada Fatimah.”

Begitu pula Ibnu Khallikan mengatakan, “Para ulama peneliti nasab mengingkari klaim mereka dalam nasab [yang katanya sampai pada Fatimah].” (Wafayatul A’yan, 3/117-118)

Perhatikanlah pula perkataan Al Maqrizy di atas, begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun, kurang lebih ada 25 perayaan. Bahkan lebih parah lagi mereka juga mengadakan perayaan hari raya orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Al Khomisul ‘Adas (perayaan tiga hari selelum Paskah). Ini pertanda bahwa mereka jauh dari Islam. Bahkan perayaan-perayaan maulid yang diadakan oleh Fatimiyyun tadi hanyalah untuk menarik banyak masa supaya mengikuti madzhab mereka. Jika kita menilik aqidah mereka, maka akan nampak bahwa mereka memiliki aqidah yang rusak dan mereka adalah pelopor dakwah Batiniyyah yang sesat. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 146, 158)

‘Abdullah At Tuwaijiriy mengatakan, “Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan Nashrani.

Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan panjang lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani Fatimiyyun. Begitu pula Abu Hamid Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah (Mengungkap kesalahan aliran Batiniyyah).” (Al Bida’ Al Hawliyah, 142-143)

Inilah sejarah yang kelam dari Maulid Nabi. Namun, kebanyakan orang tidak mengetahui sejarah ini atau mungkin sengaja menyembunyikannya. Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:

Pertama: Maulid Nabi tidak ada asal usulnya sama sekali dari salafush sholeh. Tidak kita temukan pada sahabat atau para tabi’in yang merayakannya, bahkan dari imam madzhab.

Kedua: Munculnya Maulid Nabi adalah pada masa Daulah Fatimiyyun sekitar abad tiga Hijriyah. Daulah Fatimiyyun sendiri dibinasakan oleh Shalahuddin Al Ayubi pada tahun 546 H.

Ketiga: Fatimiyyun memiliki banyak penyimpangan dalam masalah aqidah sampai aliran ekstrim di antara mereka mengaku Ali sebagai Tuhan. Fatimiyyun adalah orang-orang yang gemar berbuat bid’ah, maksiat dan jauh dari ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.

Keempat: Merayakan Maulid Nabi berarti telah mengikuti Daulah Fatimiyyun yang pertama kali memunculkan perayaan maulid. Dan ini berarti telah ikut-ikutan dalam tradisi orang yang jauh dari Islam, senang berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya, telah menyerupai di antara orang yang paling fasiq dan paling kufur. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Ketika Para Ibu Tak Mau Lagi Memberi ASI


Sebelum para ilmuwan melakukan penelitian tentang manfaat air susu ibu, Islam sudah memerintahkan agar para ibu menyusui anak-anaknya. Perintah itu terdapat Surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi;

"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan pernyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang maruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. "

Berdasarkan ayat tersebut, hubungan intim dengan ibu melalui kegiatan menyusui adalah hak seorang anak yang dilahirkan dari keluarga Muslim. Apalagi berabad-abad kemudian para ilmuwan yang melakukan penelitian mengakui bahwa ASI (Air Susu Ibu) memberikan banyak manfaat bagi perkembangan anak. Bayi-bayi diberi ASI dengan cukup memiliki kekebalan tubuh yang kuat dan memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang lebih baik dibandingkan bayi-bayi yang diberi susu formula.

Meski sudah tahu manfaat ASI, banyak kaum perempuan zaman sekarang yang enggan memberikan ASI pada anak-anaknya, termasuk ketakutan untuk melahirkan secara normal dan lebih memilih melahirkan lewat operasi. Ada fenomena para ibu bersikap lunak terhadap asupan makanan untuk anak-anaknya. Mereka lebih memilih memberikan susu formula dan makanan bayi instan, karena produk susu dan makanan itu kini sudah banyak tersedia di pasaran.

Kecenderungan itu juga terjadi di kalangan perempuan Muslim. Kesadaran untuk memberikan ASI pada anak-anaknya justeru masih tinggi di kalangan muslimah konservatif dengan tingkat pendidikan tinggi. Di balik pakaian tertutup mereka, masih mau memberikan ASI pada anak-anaknya yang masih bayi. Mereka masih memegang teguh kebiasaan kalangan kaum muslimin di awal-awal perkembangan Islam. Para ibu ketika itu, menyapih anaknya setelah berusia dua tahun dan tidak memberikan makanan padat sebelum gigi si anak tumbuh. Jika mereka tidak mampu menyusui bayi-bayi mereka karena alasan yang kuat, maka mereka akan mencari perempuan lain yang bisa menyusui bayi mereka.

Di zaman sekarang, banyak hal yang menyebabkan anak-anak Muslim kehilangan kesempatan untuk mendapatkan ASI. Baik dari faktor si ibu, anak dan faktor luar seperti sistem rumah sakit yang tidak mempromosikan pemberian ASI Eksklusif pada bayi yang baru lahir. Baru belakngan ini saja, Indonesia mengkampanyekan inisiasi menyusui dini di rumah-rumah sakit.

Rumah-rumah sakit kadang memberikan susu formula pada bayi yang baru lahir. Kadang terjadi praktik yang tidak etis, dimana terjadi kesepakatan antara pihak rumah sakit dan produsen susu atau obat tertentu untuk mempromosikan produk-produk mereka pada pasien. Ada juga kaum perempuan yang hanya mau menyusui bayinya sampai usia enam bulan dengan alasan produksi ASI nya sudah berkurang. Padahal hal itu bisa diatasi dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi dan berkalori.

Di sisi lain, karena faktor sang bayi, banyak para ibu yang harus berjuang agar bayinya mau menyusu ASI dan menolak memberikan susu botol pada bayinya yang baru lahir. Untuk kasus seperti ini, seorang ibi membutuhkan dukungan dari suami dan anggota keluarga lainnya dan si ibu dibiarkan untuk bersama-sama dengan bayinya paling tidak di 40 hari pertama kehidupan sang bayi.

Mengingat pentingnya ASI, patut disayangkan jika kaum perempuan Muslim enggan memberikan ASI pada bayi-bayinya yang baru lahir.Karena pemberian ASI yang baik akan menciptakan generasi-generasi Muslim yang kuat, sehat dan cerdas baik dari sisi intelektual maupun emosional, seperti hasil penelitian para ilmuwan tentang manfaat ASI. (EraMuslim)

Rabu, 24 Februari 2010

Aku Ingin Selalu Cantik

Aku Ingin Selalu Cantik

Oleh Piyanza

Terjadi lagi, berita itu kubaca. Kejadian yang sama beberapa waktu lalupun ada juga. Seorang wanita meninggal di klinik kecantikan akibat proses sedot lemak untuk menjaga bentuk tubuh agar lebih indah dari sebelumnya. Entah karena prosesnya yang salah atau karena ada komplikasi pada tubuh si wanita. Tak sadarkan diri dan kemudian meninggal. Entah berapa juta duit yang dihabiskannya untuk menjalani proses tersebut. Agar tubuh lebih indah , cantik dan menarik.

Wanita adalah konsumen paling besar untuk semua yang berhubungan dengan industri kecantikan. Baik itu untuk pengurusan badan, merawat dan menata rambut, menjaga kecantikan kulit, membentuk ulang mata, memperbaiki alis mata, mempercantik kulit, mengubah hidung, dagu, bokong, payudara, bahkan sampai kuku.

Yah, hampir semua bagian tubuh wanita berhubungan dan menjadi objek industri kecantikan. Dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Karena perempuan menyukai kecantikan. Perempuan ingin selalu dianggap cantik, dan terlihat cantik. Siapa sih yang tak ingin cantik dan tetap cantik. Harapan dengan tetap cantik, tetap disayang suami dan tetap percaya diri kalau bercermin bagi yang belum menikah.

Berbagai produk kecantikan membombardir wanita masa kini. Dengan segala macam jenis krim,losyen untuk muka, kulit, dengan berbagai tujuan dan pilihan. Bagi yang masih muda semakin percaya diri dengan memakai berbagai produk kecantikan untuk merawat dan memoles wajah agar lebih menarik dilihat orang.

Bagi wanita yang mulai berumur 30-an tahun keatas keresahan itu sudah mulai dirasakan. Ada apa dengan kulitku…..mengapa sudah nampak tak indah lagi. Sudah mulai kusam dan tak segar lagi. Mengapa di perut sudah mulai banyak lipatan, kenapa lengan atas ini semakin besar. Ah, apa yang harus dilakukan supaya tidak terjadi penuaan dini kulit dan muka ini. Berbagai jenis iklan terlihat di TV, produk-produk yang diyakini bisa mengatasi penuaan dini. Bisa membuat kulit wajah lebih cantik dan lebih berseri.

Apa saja bisa direnovasi dengan perkembangan teknologi kecantikan yang makin canggih saat ini dan tentunya dengan berbagai tingkat resiko. Negara-negara maju banyak menghasilkan teknologi kecantikan untuk bisa mengkoreksi kekurangan tubuh wanita mulai dari ujung rambut hingga ke ujung jari dengan harga alat-alat dan obat-obatan yang tidak murah tentunya. Dan semua itu bisa didapatkan dengan mengunjungi klinik kecantikan.

Atau dengan pergi ke spa-spa yang semakin bertebaran untuk mereka yang berduit dari kelas murah sampai yang mahal. Dan tentunya harga yang harus dikeluarkan untuk semua itu sangat bervariasi. Mulai dari salon kecantikan murahan sampai yang jutaan tersedia di negeri ini. Kalau punya uang lebih banyak lagi, bahkan ada wanita yang sampai ke luar negeri untuk memperbaiki yang kekurangan dari tubuhnya.

Sungguh ironis andaikata seorang wanita Islam, muslimah hanya memperhatikan kecantikan ragawi saja. Tidak salah jika kita ingin selalu cantik dan ingin merawat pemberian dan anugrah Allah terhadap tubuh kita. Asal jangan sampai berlebihan sehingga melanggar aturan agama, dengan melakukan renovasi sana-sini seolah-olah tidak pernah puas atas anugrah yang sudah diciptakan Allah untuk kita.

Dan tentu saja sebagai wanita muslim, kecantikan itu hanya untuk suaminya seorang, bukan untuk dipamerkan ke semua orang. Hanya wajah dan kedua tapak tangan saja yang boleh terlihat orang. Haruskah sampai terobsesi dengan kecantikan dan mengeluarkan duit sampai berlebih-lebihan? Haruskan semua anggota tubuh dikeluhkan, diresahkan dan dianggap sebagai suatu kekurangan. Tidakkah duit itu lebih bermanfaat jika kita infaq kan , sedekah, atau membantu orang yang kesusahan.

Andaikata umur kita tak panjang, hancurlah jasad dimamah bumi. Kecantikan itu tak kan berumur panjang didalam kain kafan kita, didalam kubur. Penuaan adalah proses yang alami. Kulit yang keriput akan kita alami suatu hari nanti jika kita berumur panjang. Kita hanya bisa merawatnya saja. Kecantikan rohanilah yang harus terus kita jaga dan akan menjadi amal ibadah. Dengan sering berzikir , berdoa dan mengingat Allah, mudah-mudahan bibir ini selalu indah.

Dengan rajin shalat dan menjaga wudhu, mudah-mudahan kulit wajah ini selalu segar. Dengan rajin membaca Al-Quran mudah-mudahan kedua mata tetap menawan. Dengan rajin mengulurkan sedekah mudah-mudahan tangan ini selalu indah.

Dengan melatih kesabaran dan keikhlasan atas segala cobaan hidup,mudah-mudahan kerutan di muka tidak bertambah. Dengan sujud-sujud panjang dalam shalat malam serta memperbanyak puasa sunat , mudah-mudahan berat badan tetap terjaga.

Dengan memperbanyak kesyukuran pada Allah, mudah-mudahan wajah ini selalu berseri.
“Segala puji hanya milik Allah, Ya Allah sebagaimana Engkau memberiku rupa yang baik maka jadikanlah padaku akhlaq yang baik”.

Senin, 15 Februari 2010

Ibu, Pendidik Pertama dan Utama



Begitu besar peran seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya, maka tidak dapat dipungkiri bahwa ibu adalah madrasah yang pertama. Seorang Kartini pun mengakui hal itu, yang diutarakan lewat sebuah surat kepada Prof. Anton dan istrinya : “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].

Derajat seorang ibu sebanyak tiga kali dibanding ayah. Seperti dalam hadist diriwayatkan : Seseorang datang menghadap Rasulullah saw. seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak untuk saya pergauli dengan baik” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Lagi-lagi beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Baru beliau menjawab, “Bapakmu” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud). Sungguh mulia seorang ibu, sampai Rasulullah memerintahkan kita menghormati ibu sebelum ayah, kenapa ? Karena begitu banyak hal yang sudah dilakukan oleh seorang ibu, seperti mengandung, menyusui dan mengasuh. Bukan berarti peranan seorang ayah diabaikan, ayah pun memiliki peranan yang tidak kalah penting. Tetapi peranan ibu sungguh sangat dominan.

Proses pendidikan yang diberikan oleh seorang ibu sudah dilakukan sejak sang bayi masih dalam kandungan. Seorang ibu yang terbiasa mendengar murottal (tilawah AL-Qur’an) insya Allah hal tersebut dapat didengar oleh sang bayi. Emosional dan watak seorang ibu pun dapat ditularkan melalui perilaku seorang ibu selama mengandung dan mengasuh. Dalam sebuah penelitian, bagi seorang ibu yang mengandung selalu memiliki perasaan ingin marah-marah maka sang anak pun kelak besar nanti akan memiliki penyakit jantung. Wallahu’alam.

Air Susu Ibu (ASI) yang diberikan kepada sang anak pun memiliki peranan yang sangat penting sebagai imunitas dan kecerdasan otak sang anak. Pendidikan pun dapat diberikan dengan kontak mata yang terjadi antara ibu dan anak. Setiap saat, dimanapun dan kapanpun proses pendidikan tersebut dapat dilakukan. Seorang ibu memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan generasi muda yang kreatif, inovatif, prestatif, edukatif dan produktif. Adalah sebuah mimpi hal itu terwujud jika tidak dilukis oleh tangan-tangan lembut seorang ibu. Dan untuk mewujudkannya, tidak lain hanyalah melalui wanita sholihah yang berilmu, berakal dan bertaqwa yang dapat melakukannya. Ulama besar mengatakan, bahwa wanita (khususnya seorang ibu) menjadi barometer baik buruknya sebuah masyarakat. Rusaknya akhlaq wanita merupakan mata rantai yang saling bersambungan dengan kenakalan remaja, rapuhnya keluarga dan kerusakan masyarakat.

Dengan fokus tinggal di rumah, seorang ibu dapat lebih optimal dalam mendidik anak-anak. Waktu bersama anak-anak pun otomatis lebih banyak. Disini bukan berarti sang ibu terkukung dan tidak memiliki kebebasan dalam mengapresiasikan diri. Justru di sinilah ladang amal seorang ibu, suatu saat nanti ibu lah yang akan menuai hasilnya. Bagi seorang ibu pekerja sekalipun, saya yakin hati dan pikirannya tetap tertuju pada sang anak. Kebanyakan dari mereka sepulang dari bekerja tidak akan langsung istirahat, tetapi mengurusi kebutuhan sang anak menjelang tidur atau kebutuhan untuk esok hari. Itulah fitrah seorang wanita yang memiliki peran seorang ibu. Setinggi apapun jabatan dan sebesar apapun penghormatan orang lain kepadanya, ibu adalah ibu. Amanah beliau lebih besar berada di rumah. Amanah yang diberikan langsung oleh Allah SWT, yang kelak akan diminta pertanggungjawaban di yaumil hisab.

Selain daripada itu, memiliki keahlian yang bermanfaat dalam bidang tertentu penting juga bagi seorang ibu untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sarana memperbanyak amal saleh untuk dapat dimanfaatkan kapan saja, sebagaimana yang ditulis Abdul Halim Abu Syuqqah dalam bukunya “Kebebasan Wanita”, akan pentingnya menyediakan pendidikan yang cocok bagi wanita dengan dua tujuan khusus, yaitu agar memiliki kemampuan untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak serta menguasai keahlian tertentu yang dapat dimanfaatkan kapan saja.

Karena begitu besar amanah yang diemban seorang ibu, maka bukan suatu hal yang berlebihan jika Allah SWT menempatkan posisi ibu menjadi posisi yang teramat mulia. Sehingga menjadi sebuah penghormatan yang begitu tinggi jika dikatakan surga berada di bawah telapak kaki ibu. Seperti diriwayatkan dalam sebuah kisah : Suatu ketika ada seseorang yang datang menghadap Rasulullah Saw meminta izin untuk ikut andil berjihad bersama Rasulullah Saw, maka beliau bertanya, “Adakah engkau masih memiliki ibu?”. Orang itu menjawab, “Ya, Masih. ” Kemudian beliau bersabda, “Bersungguh-sungguhlah dalam berbakti kepada ibumu. Karena sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua kakinya”. Wallahu’alam.

Sabtu, 13 Februari 2010

Managemen Cinta

Managemen Cinta (Bagian 1)

Oleh : Dr. Setiawan Budi Utomo

Fenomena keterhanyutan dan kelarutan generasi muda ke dalam jebakan kampanye cinta palsu yang menyesatkan dalam bungkus life’s style bergaya Valentine’s Day beberapa tahun belakangan ini lebih merefleksikan gejala umum degub jiwa kepenasaranan, kehausan dan sekaligus kebingungan akan makna cinta dari kalangan generasi muda di samping ekspresi dari absurditas dan ketidakarifan memahami makna cinta dari kalangan industri momentum kasih sayang dan cinta. Budaya ber-valentine’s-ria di kalangan remaja memang fenomenanya telah menjadi gejala yang memprihatinkan seperti pengalaman saya pada suatu kali di pusat perbelanjaan bersama istri berbelanja tiba-tiba terhenyak dengan ucapan spontan mereka ketika bertemu sesamanya dengan ucapan ‘happy valentine’. Kaget karena menjadi tradisi yang tidak pantas dalam tradisi ketimuran apalagi keislaman.

Cinta sebagaimana fitrahnya merupakan anugerah dan cinta juga musibah. Cinta menjadi kenikmatan bila karena Allah dan dijalan-Nya (Al-Hubb Fillah wa Lillah). Cinta islami demikian tidaklah mengenal batas ruang dan waktu serta melampaui batas fisik materi. Cinta yang fitri kata orang bijak adalah buah yang tak mengenal musim dan dapat dipetik oleh siapa pun. Cinta yang demikian tak jadi masalah kepada siapa dan seberapa besar asalkan karena Allah dan dijalan-Nya. Inilah rumus cinta suci segitiga dalam Islam; cinta proporsional (equilibrium love) antara cinta kepada Allah yang tidak menelantarkan cinta kepada makhluk, dan cinta kepada makhluk yang tidak melalaikan bahkan senantiasa dalam cinta kepada Allah Sang Khalik.

Perasaan cinta pada dasarnya sebuah kenikmatan. Betapa indahnya hidup yang dipenuhi cinta sejati dan betapa sengsaranya hidup yang dipenuhi kebencian. Orang yang dipenuhi semangat cinta yang suci mulia akan selalu merasa bahagia sebelum orang lain bahagia sehingga mendorongnya untuk memiliki sikap tenang, damai, puas dan ridha. Bahkan cinta merupakan energi dahsyat kehidupan yang mengilhami Lao Tzu, filsuf Cina yang hidup sekitar abad ke-6 SM untuk merangkai kata mutiara bahwa dicintai secara mendalam oleh seseorang akan memberimu kekuatan, dan mencintai seseorang secara mendalam akan memberimu keberanian. Demikian Plato filsuf Yunani kuno juga berkesimpulan bahwa cinta adalah sumber keindahan sehingga dengan sentuhan cinta setiap orang dapat menjadi pujangga.

Perasaan cinta yang dialami setiap jiwa manusia memang sebuah misteri sebagaimana fenomena ruh (jiwa). Nabi saw. bersabda: “Ruh itu laksana pasukan yang dikerahkan, maka seberapa jauh mereka saling mengenal maka sejauh itu pula mereka saling menyatu, dan seberapa jauh mereka tidak saling mengenal maka sejauh itu pula mereka akan berselisih.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud). Menyatunya jiwa sesama mukmin dalam cinta begitu kuat dan tetap hidup seperti satu tubuh sebagaimana diumpamakan Nabi saw. dalam hadits riwayat Imam Muslim. Begitu kuatnya pengaruh cinta sehingga kadang dapat menghilangkan kontrol emosi dan keseimbangan rasio sehingga tidak mampu bersikap objektif.

Mabuk asmara sebagaimana dikatakan filosof Plato merupakan cinta buta yang bergelora dalam jiwa yang kosong. Aristoteles juga berujar: “Cinta buta adalah cinta yang buta untuk melihat kesalahan orang yang dicintai. Cinta buta adalah kebodohan yang membalikkan hati yang hampa, sehingga ia tidak lagi mau memikirkan yang lain.” Oleh karena itu perlu manajemen cinta untuk menghindarkan ekses negatif dan efek kegilaan cinta yang menjurus kepada cinta buta yang sangat berbahaya sebagaimana dilukiskan penyair Qais: “Kau gila karena orang yang kau cinta. Memang cinta buta itu lebih parah dari gila. Orang tidak bisa sadar karena cinta buta, sedang orang gila bisa terkapar tak berdaya”. Bahkan yang lebih parah lagi bila cinta menghanyutkan seseorang sehingga melupakannya dari prioritas cinta lainnya seperti melupakan ataupun menduakan cinta kepada Allah yang dapat berakibat syirik.

Cinta memang persoalan hati (qalbu) dan hati seperti namanya adalah bersifat labil (yataqallabu) sehingga yang diperlukan adalah upaya maksimal lahir batin dalam pengendaliannya secara adil untuk setiap yang berhak atasnya. Nabi saw memaklumi fenomena batin ini dalam pengakuannya:

“Ya Allah, inilah usahaku sebatas kuasaku, maka janganlah Engkau cela diriku tentang apa yang Engkau kuasai dan aku tidak kuasai (hati).” (HR. Abu Dawud).

Melalui proses manajemen dan pengendalian cinta, seseorang dapat menjadikan perasaan cinta sebagai motivasi kontrol dalam kerangka kebajikan dan kemuliaan. Inilah esensi pesan Risalah Islam mengenai Alhubb wal Bughdhu fillah (Cinta dan benci karena Allah) sehingga kita tidak akan termakan oleh doktrin sinetron yang menyesatkan seperti sinetron “Kalau cinta jangan marah”. Hal itu karena kemarahan dalam perspektif manajemen cinta merupakan kelaziman cinta sejati yang diekspresikan dalam bentuk yang arif bijaksana tanpa keluar jalur syariat sebagaimana kemarahan Nabi saw diungkapkan dalam bentuk ekspresi perubahan mimik muka, diam, atau isyarat lainnya sebagai peringatan yang selanjutnya diberikan penjelasan dan dialog dari hati ke hati. Karenanya, beliau tidak menyukai lelaki yang suka memukul wanita bila marah apalagi sampai menampar wajah. Sebaliknya beliau juga tidak menyukai wanita yang meninggalkan atau mengkhianati suaminya bila sedang marah.

Manajemen cinta akan menumbuhkan sikap adil dalam cinta yang membawa hidup sehat dan seimbang (tawazun) dan bukan menjadi sumber penyakit sebagaimana Ibnul Qayyim sampaikan bahwa cinta bagi ruh sama dengan fungsi makanan bagi tubuh. Jika engkau meninggalkannya tentu akan membahayakan dirimu dan jika engkau terlalu banyak menyantapnya serta tidak seimbang tentu akan membinasakanmu. Kelezatan hidup inilah yang dilukiskan dalam hadits tentang kelezatan iman:

“Ada tiga perkara yang siapa pun memilikinya niscaya akan merasakan kelezatan iman; barang siapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari lainnya, barang siapa yang mencintai seseorang hanya karena Allah, dan siapa yang benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Proses menuju cinta suci yang diberkati Allah tidaklah mudah sehingga memerlukan upaya manajemen diri termasuk pengendalian ego dan penumbuhan rasa empati serta solidaritas sebagai persyaratan iman. Sabda Nabi saw:

“Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya (seiman) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” Bahkan cinta sesama mukmin merupakan syarat masuk surga “Tidaklah kalian akan masuk surga sampai kalian beriman dan kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai.” (HR. Muslim)

Cinta yang dikehendaki Islam adalah cinta sejati dan arif bukan cinta buta yang bodoh. Manajemen cinta mengajarkan agar perasaan cinta kepada seseorang tidak menghalangi kita untuk tetap melakukan segala hal yang semestinya kita kerjakan. Sehingga kita tidak akan melakukan ataupun meninggalkan segala hal demi rasa cinta ataupun mendapatkan cinta dari orang yang kita cintai meskipun hal itu bertentangan dengan kemaslahatan (kebaikan) dirinya, membahayakan orang lain dan menimbulkan kerusakan di muka bumi atau memancing kemarahan Allah. Karena sikap demikian merupakan cinta buta yang bodoh. Sebagai contoh seorang ibu yang begitu memanjakan anaknya karena cintanya yang mendalam sampai melupakan pendidikan dan pengajarannya yang pada gilirannya justru akan menjadi bumerang bagi orang tuanya karena menjadi anak durhaka.

Adapun cinta yang arif sejati adalah sebagaimana cinta Allah kepada hamba-Nya dan cinta Rasulullah kepada umatnya sehingga yang diinginkan Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah kebaikan, kesempurnaan dan kemuliaan dengan membenci segala kemungkaran dan kejahatan. (QS. Fathir: 35, Al-Kahfi: 18).

Seorang muslim tidak mengenal cinta monyet, cinta buta, cinta dusta, cinta palsu dan cinta bodoh. Ia hanya mengenal cinta suci mulia yang penuh kearifan dan kesadaran yang melahirkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan meletakkan cinta tersebut di atas segala-galanya sebagai tolok ukur cinta lainnya. Suatu ketika seorang Arab badui menghadap Nabi saw dan menanyakan perihal datangnya kiamat, lalu beliau balik bertanya: “Apa yang telah kau persiapkan?” Ia menjawab: “Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya” Beliau menyahut: “Engkau bersama siapa yang kau cintai” (HR. Bukhari dan Muslim)

Cinta karena Allah dan benci karena Allah akan menjadi filter, kontrol sekaligus tolok ukur dalam mencintai segala hal. Dengan demikian cinta yang tulus karena Allah Dzat Maha Abadi inilah yang akan bertahan abadi sementara cinta yang dilandasi motif lainnya justru yang akan cepat berubah, bersifat temporer dan akan membuahkan penyesalan. (QS. Az-Zukhruf: 43, Al-Furqan: 25)

Sabtu, 06 Februari 2010

Tarbiyah Dzatiyah

Bab I. Defenisi Tarbiyah Dzatiyah

Tarbiyah dzatiyah adalah sejumlah sarana tarbiyah (pembinaan), yang diberikan orang Muslim, atau Muslimah, kepada dirinya, untuk membentuk kepribadian islami yang sempurna di seluruh sisinya; ilmiah, iman, akhlak, sosial, dan lain sebagainya, dan naik tinggi ke tingakatan kesempurnaan sebagai manusia. Atau dengan kata lain, tarbiyah dzatiyah adalah tarbiyah seseorang terhadap diri sendiri dengan dirinya sendiri. Dengan defenisi seperti itu, tarbiyah dzatiyah setara dengan tarbiyah jama’iyah (kolektif) atau forum-forum umum yang dikerjakan seseorang, atau ia geluti bersama orang lain, atau ia ter-tarbiyah (terbina) di dalamnya bersama mereka.

Bab II. Urgensi Tarbiyah Dzatiyah

1. Menjaga diri mesti didulukan daripada menjaga orang lain
Tarbiyah seorang muslim terhadap dirinya tidak lain adalah upaya melindunginya dari siksa Allah ta’ala dan neraka-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim : 6)
2. Jika anda tidak men-tarbiyah (membina) diri anda, maka siapa yang men-tarbiyah anda?
Siapa yang men-tarbiyah seseorang saat ia berusia lima belas tahun, atau dua puluh tahun, atau tiga puluh tahun, atau lebih? Jika ia tidak men-tarbiyah diri sendiri, ia kehilangan waktu-waktu ketaatan dan moment-moment kebaikan.
3. Hisab kelak bersifat individual
Hisab pada hari kiamat oleh Allah ta’ala kepada hamba-hambaNya bersifat individual, bukan bersifat kolektif.
“Dan setiap mereka datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri” (QS. Maryam : 95)
4. Tarbiyah dzatiyah itu lebih mampu mengadakan perubahan
Setiap orang pasti punya aib, atau kekurangan, atau melakukan kelalaian dan maksiat, baik maksiat kecil atau dosa. Jika masalahnya seperti itu, ia perlu memperbaiki seluruh sisi negatif pada dirinya sejak awal, sebelum sisi negatif tersebut membengkak. Dan seseorang tidak dapat meluruskan kesalahan-kesalahannya, atau memperbaiki aib-aibnya, dengan sempurna dan permanen, jika ia tidak melakukan upaya perbaikan ini, dengan tarbiyah dzatiyah, karena ia lebih tahu diri sendiri dan rahasianya.
5. Tarbiyah dzatiyah adalah sarana tsabat (tegar) dan istiqomah
6. Sarana dakwah yang paling kuat
Cara yang paling efektif untuk mendakwahi orang lain dan mendapatkan respon mereka ialah dengan menjadi qudwah (panutan) yang baik dan teladan istimewa, di aspek iman, ilmu, dan akhlaknya. Qudwah tinggi dan pengaruh kuat tersebut tidak dapat dibentuk oleh sekian khutbah dan ceramah saja. Namun, dibentuk oleh tarbiyah dzatiyah yang benar.
7. Cara yang benar dalam memperbaiki realitas yang ada
Bagaimana kiat memperbaiki realitas pahit yang dialami umat kita sekarang? Dengan ringkas, langkah tersebut dimulai dengan tarbiyah dzatiyah, yang dilakukan setiap orang dengan dirinya, dengan maksimal, syumul (universal), dan seimbang. Sebab, jika setiap individu baik, baik pula keluarga, lalu masyarakat menjadi baik. Begitulah, akhirnya pada akhirnya realitas umat menjadi baik secara total, sedikit demi sedikit
8. Karena keistimewaan tarbiyah dzatiyah
Urgensi tarbiyah dzatiyah lainnya ialah mudah diaplikasikan, sarana-sarananya banyak, dan ada terus pada orang muslim di setiap waktu, kondisi, dan tempat.

Bab III. Ketidakpedulian Kepada Tarbiyah Dzatiyah

1. Minimnya ilmu
2. Ketidakjelasan sasaran dan tujuan
Orang yang merasa tujuannya dalam hidup ini tidak jelas berjalan bersama manusia di mana saja mereka berjalan. Maka tidak mengherankan, kalau ia begitu lengket dengan seluruh sarana kehidupan yang semuanya dijadikan tujuan utama kehidupan sehingga ia tidak peduli dengan tarbiyah dirinya, pembersihan, perbaikan, dan pengarahan dirinya.
3. Lengket dengan dunia
4. Pemahaman yang salah tentang tarbiyah
Ia berpendapat tarbiyah dzatiyah membuat dirinya terputus dari kehidupan dan manusia, serta terisolir dari mereka. Atau menyita sedkit waktu dan tenaganya. Atau merasa tidak membutuhkan tarbiyah dzatiyah karena telah menunaikan kewajiban agamanya yang paling penting sehingga tidak perlu lagi mengerjakan ibadah-ibadah lain yang tidak wajib.
5. Minimnya basis tarbiyah
6. Langkanya murobbi (pembina)
Seseorang dalam hidupnya sangat membutuhkan taujih (pengarahan), tarbiyah, dan pengajaran, sejak masa kecilnya hingga ia dewasa dan tua, serta hingga ia meninggal dunia.
7. Perasaan akan panjangnya angan-angan
Merasa bahwa umur masih panjang, dan masih banyak waktu yang tersedia untuk melakukan tarbiyah diri pada waktu yang tidak sibuk lagi sehingga menyebabkan ketidakpedulian akan tarbiyah dzatiyah

Bab IV. Sarana-Sarana Tarbiyah Dzatiyah

1. Muhasabah
Melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya atas kebaikan dan keburukan yang telah ia kerjakan, meneliti kebaikan dan keburukan yang ia miliki, agar ia tidak terperanjat kaget dengan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya pada hari kiamat.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr : 18)
Dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda : “Orang cerdas (berakal) ialah orang yang menghisab dirinya dan berbuat untuk setelah kematian. Dan, orang yang lemah ialah orang yang mengikutkan dirinya kepada hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah.” (At-Tirmidzi)

Panduan muhasabah :
a. Urgensi muhasabah secara rutin
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan salah satu kiat muhasabah, “Hal yang paling bermanfaat bagi orang ialah ia duduk sesaat ketika hendak tidur. Ia lakukan muhasabah terhadap dirinya pada saat tersebut atas kerugian dan keuntungannya pada hari itu. Lalu, ia memperbaharui taubatnya dengan nasuhah kepada Allah, lantas tidur dalam keadaan bertaubat dan bertekad tidak mengerjakan dosa yang sama jika ia telah bangun. Itu ia kerjakan setiap malam. Jika ia meninggal pada malam tersebut, ia meninggal dalam keadaan taubat. Jika ia bangun, ia bangun dalam keadaan siap beramal, senang ajalnya ditunda, dan siap mengerjakan perbuatan-perbuatan yang belum ia kerjakan.”
b. Skala prioritas yang penting
• Memuhasabahi kesehatan akidahnya, kebersihan tauhidnya dari syirik kecil dan tersembunyi.
• Memuhasabahi pelaksanaan kewajiban-kewajiban, shalat lima waktu, berbakti kepada orang tua, menyambung hubungan kekerabatan, amar ma’ruf nahi munkar.
• Memuhasabahi sejauh mana dirinya menjauhi hal-hal yang haram dan kemungkaran-kemungkaran.
• Memuhasabahi sejauh mana melakukan ibadah-ibadah sunnah dan ketaatan lainnya
c. Jenis-jenis muhasabah
1. Muhasabah diri sebelum berbuat
2. Muhasabah diri setelah berbuat
• Muhasabah diri atas ketaatan kepada Allah yang telah ia lalaikan
• Muhasabah diri atas perbuatan yang lebih baik tidak ia kerjakan daripada ia kerjakan
• Muhasabah atas hal-hal mubah dan wajar
d. Muhasabah atas waktu
Muhasabah diri tentang alokasi waktunya, yang merupakan usia dan modalnya. Apa ia telah gunakan waktunya dalam kebaikan, amal shalih, dan hal-hal bermanfaat bagi orang lain? Atau sebaliknya?
e. Ingat hisab besar
Allah akan menghisab hamba-hambaNya pada hari kiamat, dengan hisab yang cermat, dan bertanya pada mereka tentang apa saja yang telah mereka kerjakan, perbuatan baik atau perbuatan buruk.

2. Taubat dari segala dosa
Panduan :
a. Hakikat dosa
Dosa pada hakikatnya adalah tidak mengerjakan kewajiban-kewajiban syar’i, atau melalaikannya, dalam bentuk tidak mengerjakannya dengan semestinya.
b. Syarat-syarat taubat
Taubat nasuhah (hakiki) ialah taubat jujur dan serius, yang menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya dan melindungi pelakunya dari dosa-dosa sebelumnya.
c. Semua dosa itu kesalahan
d. Hukuman di dunia
Dosa, yang pelakunya tidak bertaubat darinya, punya hukuman segera di dunia, sebelum di akhirat, kendati kadang kejadiannya agak tertunda. Dari sinilah, kecerdasan akal orang muslim ketika ia banyak bertaubat dan beristighfar di setiap waktu dan kondisi, dengan harapan Allah mengampuninya di dunia dan tidak menghukumnya di akhirat
e. Di antara trik jiwa kita
Makar setan terhadap manusia dan perjuangannya mati-matian untuk menipu manusia dengan segala cara menyebabkan manusia menunda-nunda taubat dan kembali kepada Allah, dengan banyak argumentasi.

3. Mencari ilmu dan memperluas wawasan
Caranya sangat banyak, antara lain menghadiri pertemuan-pertemuan yang mengkaji ilmu ilmiah dan tarbiyah, membaca buku, mengunjungi ulama, pemikir, peneliti, mendengar kaset ilmiah dan ceramah, dan lain sebagainya.
Yang perlu diperhatikan dalam mencari ilmu antara lain, ikhlas dalam mencari ilmu, rajin dan meningkatkan pengetahuan, menerapkan ilmu yang didapatkan, dan tunaikan hak ilmu dengan berdakwah kepada orang lain.

4. Mengerjakan amalan-amalan iman
Antara lain :
• Mengerjakan ibadah-ibadah wajib seoptimal mungkin
• Meningkatkan porsi ibadah-ibadah sunnah
• Peduli dengan ibadah dzikir seperti membaca al-qu’ran dan berdzikir
Hal-hal penting antara lain :
• Urgensi shalat lima waktu, muslim hendaknya tetap konsisten mengerjakan shalat lima waktu dan serius menunaikannya secara berjama’ah di masjid, sesuai dengan rukun-rukun, kewajiban, dan sunnahnya pada waktunya sembari menjauhi kesalahan yang biasa dilakukan.
• Antara ibadah dan adat istiadat, menjadikan ibadah tidak sekedar rutinitas fisik tanpa ruh, hendaknya dilaksanakan dengan sepenuh hati dan jiwa kita
• Ilmu pengetahuan tidak cukup, ilmu saja tidak cukup jika tidak ditunaikan dalam amal perbuatan
• Kita tidak lupa dzikir kepada Allah
• Memanfaatkan sebaik mungkin saat-saat rajin
• Memanfaatkan sebaik mungkin waktu-waktu dan tempat-tempat mulia
• Urgensi tawazun (seimbang), melakukan ibadah dengan seimbang, tidak menelantarkan ibadah yang satu hanya karena melakukan ibadah yang lain

5. Memperhatikan aspek akhlak (moral)
Tarbiyah dzatiyah dalam aspek moral antara lain :
• Sabar
• Membersihkan hati dari akhlak tercela
• Meningkatkan kualitas akhlak
• Bergaul dengan orang-orang yang berakhlak mulia
• Memperhatikan etika-etika umum

6. Terlibat dalam aktivitas dakwah
• Merasakan kewajiban dakwah
“Katakan, ‘Inilah jalanku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata’.” (QS. Yusuf : 108)
• Menggunakan setiap kesempatan untuk berdakwah
• Terus-menerus dan tidak berhenti di tengah jalan
• Pintu-pintu dakwah itu banyak, cara berdakwah itu tidak hanya berceramah saja, melainkan senyum, perkataan yang baik, dan lain sebagainya itu merupakan dakwah
• Kerjasama dengan pihak lain atau dengan kata lain beramal jama’i’

7. Mujahadah (jihad/bersungguh-sungguh)
• Sabar adalah bekal mujahadah
• Sumber keinginan, mujahadah dan keinginan datang dari jiwa, ketekunan, dan membayar harganya sesuai dengan semestinya
• Bertahap dalam melakukan mujahadah
• Jadilah anda orang yang tidak lalai
• Siapa yang mengambil manfaat dari mujahadah?, anda adalah pihak pertama dan terakhir yang mengambil manfaat jika bermujahadah

8. Berdoa dengan jujur kepada Allah
Doa adalah permintaan seorang hamba kepada Allah, pengakuan ketidakberdayaan dan kemiskinan dirinya, pernyataan tidak punya daya dan kekuatan, serta penegasan tentang daya, kekuatan, kodrat, dan nikmat Allah
Rasulullah saw bersabda : “Iman pasti lusuh di hati salah seorang dari kalian, sebagaimana pakaian itu lusuh. Karena itu, mintalah Allah memperbaharui iman di hati kalian.” (diriwayatkan Ath-Thabrani dan sanadnya hasan)
Arahan-arahan dalam doa :
• Kebutuhan kita kepada doa
• Waktu-waktu dan tempat-tempat terkabulnya doa
• Syarat-syarat doa antara lain, makan makanan yang halal, minta dengan sungguh-sungguh, menampakkan kelemahan dan kepasrahan kepada Allah, menghadirkan hati, bertaubat dari dosa, cinta dan takut kepadaNya
• Jangan minta doa dikabulkan dengan segera
• Bermanfaatlah untuk anda dan orang lain
Bab V. Buah Tarbiyah Dzatiyah
1. Mendapatkan keridhaan Allah dan surgaNya
2. Kebahagiaan dan ketentraman
3. Dicintai dan diterima Allah
4. Sukses
5. Terjaga dari keburukan dan hal-hal tidak mengenakkan
6. Keberkahan waktu dan harta
7. Sabar atas penderitaan dan semua kondisi
8. Jiwa merasa aman

Kamis, 04 Februari 2010

Ma'rifatul Rasul

I. Pendahuluan

Mengenal rasul merupakan sebuah bahasa yang sangat penting dalam pembinaan keagamaan seorang muslim. Dalam kalimat syahadat kesaksiannya yang pertama yang dilakukan seorang adalah keyakinan bahwa Allah itu Esa dan yang kedua adalah keimanan terhadap kerasulan Muhammad SAW. Oleh karena itu pengenalan terhadap Rasulullah SAW sangat menentukan tingkat pemahaman, penghayatan dan pengamalan seseorang terhadap ikrar keislaman mereka, karena dari sinilah terbentuklah kepribadian muslim.

Mengenal rasul menjadi sebuah keperluan yang asasi bagi kaum muslimin masa kini karena mereka tidak hidup bersama dengan nabi, mereka harus beriman kepada kerasulan Muhammad SAW dengan keimanan yang sebenar-benarnya. Inilah sebuah upaya untuk menghayati makna syahadatain.

Ibnu Qoyyim menerangkan bahwa kebutuhan manusia yang utama adalah mengenal para rasul dan ajaran yang dibawanya, percaya akan berita dan yang disampaikannya serta taat pada yang diperintahkan, sebab tidak ada jalan menuju kebahagiaan dan keberhasilan di dunia dan akhirat kecuali dengan tuntunan para rosul. Tidak ada pula petunjuk untuk mengetahui yang baik dan buruk maupun keutamaan yang lain kecuali mengikuti rasul untuk mendapatkan ridha Allah.

II. Pengertian Rasul, Nabi serta Risalah

Rasul adalah lelaki pilihan dan yang diutus oleh Allah dengan risalah kepada manusia. Rasul merupakan yang terbaik diantara manusia lainnya sehingga apa yang dibawa, dikatakan dan dilakukan adalah sesutu yang terpilih dan mulia dibandingkan dengan manusia lain.

Nabi adalah lelaki pilihan yang diutus oleh Allah mendapatkan wahyu berupa syariat namun tidak harus disampaikan. Nabi diutus untuk mengukuhkan syariat sebelumya.

Risalah adalah sesuatu yang diwahyukan Allah SWT berupa prinsip hidup, moral, ibadah, aqidah untuk mengatur kehidupan manusia agar terwujud kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Ciri-ciri Rasul:
a. Laki-laki yang berasal dari manusia, QS. Al Kahfi (18) : 110
b. Ma’sum terjaga dari kesalahan, QS. An Najm (53) : 2-5
c. Menjadi suri teladan, QS. Al Ahzab (33) : 21
d. Memiliki akhlaq yang mulia; shidiq, tabligh, amanah dan fathonah. QS. Al Qalam (18) : 4
e. Memiliki mu’jizat, QS. Al Qomar (54) : 1
f. Tersampaikan berita tentang kedatangannya, QS. Ash Shaff (61) : 6
g. Adanya berita kenabian, QS. Al Furqan (25) : 30
h. Hasil perbuatan seperti kader (sahabat), lingkungan dan tatanan kehidupan dan peradaban Islami, QS. Al Fath (48) : 29

III. Tugas Para Rasul

A. Umum
1. Menyampaikan risalah, QS Al Maidah (5) : 67
2. Memperkenalkan Al Khalik, QS. Ali Imran (3) : 190
3. Menjelaskan cara beribadah,
Hadits : “Shalatlah kamu seperti halnya aku shalat”. (HR. Bukhori, Muslim)
4. Menjelaskan pedoman hidup,
Hadits : “Rasulullah SAW bersabda: “ Barangsiapa yang dikehendaki Allah suatu kebaikan untuknya, Dia akan pandaikan dalam hal agama”. (HR. Bukhari, Muslim)
5. Mendidik
Berdasarkan Sirah Nabawiyah, menunjukkan bagaimana para sahabat belajar di rumah Arqom bin Abi Arqom.

B. Khusus
1. Menegakkan din Allah, QS. Asy Syuura’ (42) : 13-15
2. Menegakkan khilafah, QS. An Nuur (24) : 55
3. Membina kader, QS. Ali Imran (3) : 104
4. Membuat konsep panduan da’wah, QS. Ali Imran (3) : 159
5. Melaksanakan panduan da’wah, QS. Al Baqarah (2) : 208
Referensi :
1. Ma’rifatul Rasul, DR. Irwan Prayitno
2. Sirah Nabawiyah, DR. Ramadhan al Buthi
3. Ar Rasul Muhammad saw, Said Hawwa
4. Apakah anda berkepribadian muslim, DR. Ali Hashimi

Makrifatullah Puncak Aqidah Islam

1. KARAKTERISTIK AQIDAH ISLAM

Aqidah Islam adalah Aqidah Rabbaniy (berasal dari Allah ) yang bersih dari pengaruh penyimpangan dan subyektifitas manusia. Aqidah Islam memiliki karakteristik berikut ini :

1. Al Wudhuh wa al Basathah ( jelas dan ringan) tidak ada kerancuan di dalamnya seperti yang terjadi pada konsep Trinitas dsb.
2. Sejalan dengan fitrah manusia, tidak akan pernah bertentangan antara aqidah salimah (lurus) dan fitrah manusia. Firman Allah : "Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah.." QS. 30:30
3. Prinsip-prinsip aqidah yang baku, tidak ada penambahan dan perubahan dari siapapun. Firman Allah :"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan lain selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?" QS. 42:21
4.Dibangun di atas bukti dan dalil, tidak cukup hanya dengan doktrin dan pemaksaan seperti yang ada pada konsep-konsep aqidah lainnya. Aqidah Islam selalu menegakkan : "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar" QS 2:111
5. Al Wasthiyyah (moderat) tidak berlebihan dalam menetapkan keesaan maupun sifat Allah seperti yang terjadi pada pemikiran lain yang mengakibatkan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Aqidah Islam menolak fanatisme buta seperti yang terjadi dalam slogan jahiliyah "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan mengikuti jejak mereka" QS. 43:22

2. PENGERTIAN MA'RIFATULLAH
Ma'rifatullah
(mengenal Allah) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Segelas susu yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang yang telah membuatnya menjadi segelas susu.

Menurut Ibn Al Qayyim : Ma'rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma'rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya".

Ma'rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma'riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.

3. CIRI-CIRI DALAM MA'RIFATULLAH
Seseorang dianggap ma'rifatullah (mengenal Allah) jika ia telah mengenali
1.asma' (nama) Allah
2. sifat Allah dan
3. af'al (perbuatan) Allah, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini.

Kemudian dengan bekal pengetahuan itu, ia menunjukkan :
1. Sikap shidq (benar) dalam ber -mu'amalah (bekerja) dengan Allah,
2. Ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah,
3. Pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah SWT
4. Sabar/menerima pemberlakuan hukum/aturan Allah atas dirinya
5. Berda'wah/ mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya
6. Membersihkan da'wahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah SAW.

Figur teladan dalam ma'rifatullah ini adalah Rasulullah SAW. Dialah orang yang paling utama dalam mengenali Allah SWT. Sabda Nabi : "Sayalah orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya". HR Al Bukahriy dan Muslim. Hadits ini Nabi ucapkan sebagai jawaban dari pernyataan tiga orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan keinginan dan perasaannya sendiri.

Tingkatan berikutnya, setelah Nabi adalah ulama amilun ( ulama yang mengamalkan ilmunya). Firman Allah : "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama" QS. 35:28

Orang yang mengenali Allah dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa berdzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarkat, dermawan, dst. Tidak ada ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu larangan Allah kecuali ia menjauhinya.

Ada sebagian ulama yang mengatakan : "Duduk di sisi orang yang mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam hal, yaitu : dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunia menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawadhu' (randah hati), dari buruk hati menjadi nasehat"

4. URGENSI MA'RIFATULLAH
a. Ma'rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup manusia selanjutnya. Karena ma'rifatullah akan menjelaskan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma'rifatullah membuat banyak orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk hidup lain (binatang ternak). QS.47:12

b. Ma'rifatullah adalah asas (landasan) perjalanan ruhiyyah (spiritual) manusia secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar.
Sabda Nabi : Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi karunia ia bersyukur" (HR.Muslim)

Orang yang mengenali Allah akan selalu berusaha dan bekerja untuk mendapatkan ridha Allah, tidak untuk memuaskan nafsu dan keinginan syahwatnya.

c. Dari Ma'rifatullah inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul, untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena para Nabi dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah.

d.Dari Ma'rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti Malaikat, jin dan ruh.

e. Dari Ma'rifatullah inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzahiyyah (alam kubur) dan kehidupan akherat.

5. SARANA MA'RIFATULLAH
Sarana yang mengantarkan seseorang pada ma'rifatullah adalah :
a. Akal sehat
Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur'an yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap pengenalan al Khaliq (pencipta) seperti firman Allah : Katakanlah " Perhatikanlah apa yang ada di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman. QS 10:101, atau QS 3: 190-191
Sabda Nabi : "Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Allah, karena kamu tidak akan mampu" HR. Abu Nu'aim

b.
Para Rasul
Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma'rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Firman Allah :
"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.." QS. 57:25

c.
Asma dan Sifat Allah
Mengenali asma (nama) dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk memperkenalkan diri kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya Allah. Firman Allah :
"Katakanlah : Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma' al husna (nama-nama yang terbaik) QS. 17:110
Asma' al husna inilah yang Allah perintahkan pada kita untuk menggunakannya dalam berdoa. Firman Allah :
" Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu..." QS. 7:180

Inilah sarana efektif yang Allah ajarkan kepada umat manusia untuk mengenali Allah SWT (ma'rifatullah). Dan ma'rifatullah ini tidak akan realistis sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu : tauhid rububiyyah, tauhid asma dan sifat. Kedua tauhid ini sering disebut dengan tauhid al ma'rifah wa al itsbat ( mengenal dan menetapkan) kemudian tauhid yang ketiga yaitu tauhid uluhiyyah yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus dilakukan.

Ad-dinul Islam

Kata Islam, sejatinya secara generik memiliki beberapa makna. Di antara makna-makna tersebut adalah; pertama, Islam bermakna selamat atau sentosa. Kedua, Islam dapat juga bermakna damai atau ketentraman. Ketiga, Islam dapat juga bermakna tangga, jenjang, atau tingkat. Keempat, Islam bermakna tunduk, patuh atau pasrah secara total. Sedangkan, secara istilah, kata Islam sering diartikan dengan, jalan untuk kebaikan dan keselamatan manusia di dunia dan akhirat, yang ia (Islam), merupakan jalan yang dibawa oleh rasulullah Muhammad sallallahu’alaihi wassalam.

Secara khusus, kata Islam biasanya digandengkan dengan kata ad-din (baca addin). Kamus al-Munawwir (1997), mengartikan sebagai, hutang-piutang, maut atau kematian, agama atau kepercayaan, aturan, undang-undang, tingkah laku adat kebiasaan, dsb. Menurut al-Ma’luf, sebagaimana dikutip Syamsul Hidayat (1998) mengatakan, jika dilihat dari asalnya, kata addin merupakan masdar dari kata kerja dana-yadinu, jamaknya al-adyan. Namun, kata kerja ini juga memiliki masdar yang lain, yaitu al-dayn. Secara etimologi kata ini memiliki beberapa arti, di antaranya, hutang, perhitungan, pembalasan, atau imbalan, thaat, agama, adat istiadat serta jalan hidup.
Dengan pengertian-pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan, kalimat addinul Islam dapat dimaknai bahwa, agama Islam, adalah agama yang dapat membawa kedamaian dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Tentunya, tingkat kedamaian dan keselamatan masing-masing pemeluknya berbeda satu sama lain. Ukuran tingkatan atau jenjang-jenjang tersebut dapat diukur secara kualitatif berdasarkan tingkat kepasrahan yang dimiliki oleh masing-masing pemeluknya.
Kepasrahan yang dimaksud adalah perasaan yang paling dalam dari diri manusia terhadap Tuhannya (Allah Ta’ala). Sehingga, ia sebagai muslim sejati, merasakan kehadiran Rab-nya dan selalu dalam setiap saat hidupnya merasa dilingkupi Tuhannya, ke mana dan di mana pun dia berada di alam ini. Ia tidak akan mungkin berani untuk secara sengaja melakukan perbuatan apapun yang menurut mata batin dan kesadarannya merupakan perlawanan dari sikap atas kepasrahan terhadap Tuhannya.
Al-Qur’an menjelaskan, “Sesungguhnya, agama (yang diridloi) disisi Allah hanyalah Islam” (Q.s. Ali-Imran ayat 19). kata Islam dalam ayat ini dapat diartikan sebagai tunduk, patuh atau pasrah. Sehingga, dengan menggabungkan dengan penjelasan di atas, Allah dengan jelas berfirman bahwa Ia hanya merestui suatu keyakinan Islam pada diri manusia terhadap-Nya, yang keyakinan itu didasari sikap kepasrahan yang menyeluruh atau total.
Sukidi (2001) mengatakan, bahwa kesadaran seperti ini disebutnya sebagai kesadaran ketuhanan atau takwa yang bersifat monoteistik (Tauhid). Ia merupakan implikasi langsung dari al-Islam, yang secara lughawi, sebagaimana dijelaskan diatas, dapat berarti sikap pasrah. Muhammad Asad juga berkomentar, “behold the only (true) religion in the sight of God is (man’s) self-surrender into Him”. Artinya, satu-satunya agama yang benar dalam penglihatan Tuhan adalah sikap berserah diri kepada-Nya.
Dua pendapat di atas, walau sesungguhnya dalam konteks seluruh Nabi-Nabi yang pernah diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala, semakin memperkuat deskripsi, bahwa dasar agama yang dibawa oleh Muhammad sallu’alaih adalah sama dengan yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul pendahulunya, yakni sikap kepasrahan atau ketundukkan yang total pada Rabnya saja.
Lebih jelasnya lagi, dalam al-Qur’an Allah ta’ala juga berfirman, sebagai penegasan: “Dan (aku telah diperintahkan), hadapkanlah mukamu kepada agama (itu) dengan tulus dan ikhlas, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik” (Q.s. [10]: 105). Dengan jelas sekali ayat ini mengisyaratkan adanya makna addin yang harus diikuti dengan ketulusan dan sikap tauhid (Syamsul Hidayat, 1998). Sedang satu-satunya agama yang dirujuk untuk diikuti adalah kepasrahan yang total terhadap Tuhannya, yakni dalam kepasrahan yang total.
Dasar dari penegasan ini adalah, bahwa perasaan ketergantungan terhadap sesuatu Yang Mutlak dan merentang dalam seluruh aspek kehidupan, sesungguhnya merupakan fitrah dari batinnya yang terdalam. Oleh karenanya, dengan tegas Allah juga telah memerintahkan pada kita, sebagai pemeluk atau penganut sikap kepasrahan yang total kepada-Nya, untuk selalu menghadapkan wajah pada rasa kefitrahan tersebut. Seperti termaktub dalam Al-Qur’an, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (surat Ar-Rum: 30).
Dalam keterangan al-Qur’an terjemah departemen Agama Indonesia (edisi revisi) dijelaskan, bahwa fitrah Allah maksudnya adalah ciptaan Allah subhanahu wata’ala. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama, yaitu agama Tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama kepada Tauhid itu hanyalah disebabkan oleh pengaruh lingkungan sekitarnya.
Al-Qur’an menyebutkan, “barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi” (Surat Ali-‘Imran ayat 85). Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar murtad setelah masuk Islam, dan ia menyesal atas kemurtadannya. Ia minta kepada kaumnya untuk mengutus seseorang menghadap kepada Rasulullah sallu’alaih, untuk menanyakan apakah diterima tobatnya. Maka turunlah ayat tersebut diatas (sampai ayat 89), dan disampaikan oleh utusan itu kepadanya, sehingga ia kembali Islam.
Dalam suatu riwayat dikemukakan, bahwa al-Harts bin Suwaid menghadap kepada Nabi saw., dan masuk Islam. Kemudian pulang kepada kaumnya dan keluar lagi. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Surat Ali-Imran ayat 85 sampai 89). Ayat itu dibacakan kepadanya oleh salah seorang kaumnya. Maka berkata al-Harts, “sesungguhnya engkau benar, dan Rasulullah lebih benar daripadamu, dan sesungguhnya Allah yang paling benar di antara tiga”. Kemudian ia kembali masuk Islam dan menjadi seorang Islam yang patuh (Qamaruddin Shaleh, dkk. 1996).
Dapat diduga kemurtadan yang dimaksud berada pada dua sisi, yaitu kembali melakukan penyembahan berhala atau musyrik sebagai agama nenek moyangnya, sekaligus berlepas dari (tidak pasrah) terhadap berbagai aturan yang diturunkan Allah sebagai konsekuensi keber-Islamannya. Hal ini melanggar fitrah ber-Dinul Islam itu sendiri. Sebab, kata yang menggunakan huruf-huruf dal-ya’-nun, seperti dana-yadinu, din atau dain melukiskan terdapatnya hubungan di antara dua pihak yang salah satunya memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada kedudukan yang satunya.
Dari sini diketahui kata ad-din juga merepresentasikan hubungan antara makhluk (manusia) dengan Khaliqnya yakni Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Wujud hubungan tersebut terdapat dalam sikap batinnya (yang tulus ikhlas) serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya serta tercermin dalam sikap hidup (perilaku) kesehariannya (M Quraish Shihab, 1997).
Kesimpulannya, seorang Muslim (pemeluk kepasrahan dan Tauhidullah) tidak boleh “secuilpun” dari bagian dirinya, baik dalam aspek-aspek ushul (dasar) sebagai tiang Islam, seperti shalat, puasa ramadlan, dll., Maupun muamalah duniawiyahnya sebagai furu’ (cabang), lepas dari sikap kepasrahan terhadap-Nya. Caranya ?
Ada dua hal yang pasti ada dalam diri setiap pemeluk addin yang telah pasrah total terhadap Tuhan-Nya. Pertama, dia bukanlah tipe orang yang berpura-pura dalam pokok-pokok agama yang hatinya penuh dengan kepalsuan. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan sahalatnya) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (Q.s. An-Nisaa’ ayat 142).
Sitiran Allah tersebut pasti menghunjam pada sanubari setiap orang Islam yang benar-benar pasrah dan tunduk pada-Nya. Ia takut seandainya Allah membiarkannya seolah-olah beriman, tetapi suatu saat Allah akan memberinya azab. Ia juga tidak akan sudi menukarkan ridla-Nya dengan sesuatu yang “remeh-temeh” karena keriyaannya.
Kedua, seorang Muslim yang telah tunduk, atau pasrah pada titah-Nya, hati, pikiran dan lakunya tidak akan mungkin secara sengaja mengajak ke lembah perbuatan yang menjauhkan dari cahaya-Nya. Dalam posisi apa dan di mana pun dalam segala aspek kehidupannya selalu penuh dengan Nur Allah. Ia tidak akan memisahkan aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budayanya, pendeknya seluruh aspek muamalahnya tidak terpisahkan dari hasratnya untuk menuju pada Allah Subhanahu Wata’ala dan agar dipenuhi oleh celupan-celupan hidayah-Nya. Wallahu a’lam bish shawab.•

Ghazwul Fikri ( Perang Pemikiran )

Islam adalah agama yang mulia, umatnya pun umat yang besar dan mulia, sampai2 Allah memberikan label dalam al-Quran dalam surat Ali ‘Imran ayat 110 sebagai umat terbaik. Penghargaan ini bukan hanya sekedar penghargaan kosong tanpa isi, tapi memang benar2 padat berisi dan terbukti hingga 1300 tahun lamanya.

Namun apa yang terjadi sekarang? Umat islam banyak mengalami kemunduran dengan ditandai terjadinya krisis multidimensi, mulai dari krisis ekonomi, moral, hingga krisis aqidah. Musuh2 islam tak henti2nya berupaya untuk menghancurkan islam dengan menggunakan berbagai macam sarana, baik melalui pendidikan, pengajaran, media cetak, hiburan dll.

Melalui perang pemikiran musuh2 islam berusaha untuk merusak akhlak, menghancurkan fikrah, melarutkan kepribadian dan menumbangkan aqidah melalui perang pemikiran atau yang sering kita kenal “Ghazwul Fikri”. Siapkah sebenarnya musuh2 islam itu? Allah menjawab dalam al-Quran, mereka adalah: atheis & yahudi (QS. 5:82), Musyrikun (QS. 9:36), Nasrani (Qs. 2:120), dan munafikun (Qs. 63:4).

Perlu kita ketahui bagaimana awal proses terjadinya ghazwul fikri. Tahapan terjadinya ghazwul fikri melalui 3 fase:

1. Fase sebelum jatuhnya khilafah.

Bermula pada rentang abad ke-11 hingga ke-12 masehi. Negara khilafah islam yang didirikan Rasul Muhammad saw pada tahun 622 M. dan sedang menikmati wilayah kekuasaan yang amat luas, mulai menunjukkan benih2 perpecahan. Beberpa wilayah ada yang memisahkan diri, ataupun melakukan otonomi luas seperti layaknya negara federasi. Musuh2 islam tidak melewatkan kesempatan ini, pada saat umat islam lengah mereka mengirim pasukan salib untuk mneyerang kaum muslimin, hingga mereka berhasil menguasai wilayah palestina, libanon, dan suriah. Perang ini berlangsung selama ratusan tahun, sekalipun akhirnya kaum muslimin berhasil merebut kembali wilayah2 yang dikuasai pasukan salib dan mengusir mereka, namun mereka tidak kenal menyerah. Hingga akhirnya mereka mendapatkan ide untuk menghancurkan islam, Disraeli, perdana mentri inggris keturunanan yahudi mengusulkan untuk menjauhkan al-quran dari umat islam, artinya pemahaman islam harus dicabut dari benak kaum muslimin agar mudah mengalahkannya.

Itulah awal dari perang pemikiran (ghazwul fikri). Musuh2 islam belajar dari kenyataan, bahwa upaya mereka selama ini melalui berbagai perang, selalu mengalami kegagalan. Mereka berusaha mewujudkan harapannya untuk menghancurkan islam dengan mengirim agen2nya dengan menyamar sebagai misionaris yang dengan terbuka bergabung dalam berbagai bentuk bantuan pengetahuan dan kemanusiaan.

2. Fase jatuhnya khilafah.

Selain melalui jalan misionaris, musuh2 islam juga berupaya menanamkan jiwa nasionalisme. Masuknya faham nasionalisme di dunia islam berawal ketika pusat kekhilafahan di Turki yang memang sudah lemah mengalami goncangan pemikiran. Hal itu terjadi sekitar dua abad sebelum gerakan Turki Mudanya Kemal Pahsya mengawali revolusi, menggunakan baju kebangsaan, pada awal abad ke-20.

Melalui gerakan tersebut, pada tanggal 3 maret 1924 sistem pemerintahan islam berakhir. System kekhilafahan yang merentang selama lebih dari 13 abad itu dihapuskan setelah Kemal Pahsya mengeluarkan maklumat Komite Nasional yang berisi: penghapusan system kekhilafahan, pengusiran khalifah serta penetapan konsep pemisahan agama dari negara (sekularisme).

Sejak keruntuhan kekhilafahan, satu persatu negeri2 islam membebaskan diri dari cengkraman penjajahan dengan mengatasnamakan kekuatan bangsa. Siria, iraq, Libanon, Palestina, Mesir, Indonesia, Arab yang semula menjadi bagian dalam wilayah kekhilafahan memerdekakan diri. Negri2 islam yang semula satu menjadi terpecah.

3. Fase sesudah jatuhnya Khilafah.

Setelah terpecahnya negri2 islam, musuh2 islam tidak tinggal diam. Mereka tetap berupaya untuk menghancurkan islam, melalui LSM raksasa yaitu Asia Foundation yang markas besarnya di San Fransisco mereka berusaha memasukkan ide2 barat. Di Indonesia keberadaannya sudah ada sejak tahun 1970. mereka berdiri dibalik program2 bernama; training keagamaan, studi gender, HAM dalam islam, civic education di lembaga2 islam, pusat pembelaan perempuan untuk islam, dan isu2 pluralisme, pararel dengan program2 JIL (jaringan islam liberal).

JIL yang didirikan sekitar maret 2001 banyak melahirkan pemikiran2 ‘konyol’ yang oleh kebanyakan pengikutnya disebut dengan istilah “kekritisan berfikir”. Atmosfir baru sebagian kaum terpelajar muslim, kini seakan2 ada perubahan mendadak. Terutama cara mereka berfikir dan berargumen.

Tiba2 mereka terlihat begitu semangat mengkritisi al-Quran, menolak beberapa nash hadist2 shahih, serta menuduh para ulama’ sebagai kelompok konservatif. Mereka sangat antusias berbicara, berdiskusi, mengadakan seminar, workshop, lokakarya, untuk membahas tema2 demokrasi, kebebasan berekspresi, sekularisme, pluralisme, dan kesetaraan gender. Mereka bahkan teramat sibuk dengan referensi2 liberal. Luthfi Asy-Syaukani , salah satu motor JIL pernah menyebut dngan jujur 4 agenda utama lahirnya islam liberal, pertama, agenda politik: dengan mengarahkan kaum muslimin untuk mempercayai sekularisme. Kedua, agenda pluralisme: menyerukan bahwa semua agama adalah benar, tidak boleh ada truth claim. Ketiga, agenda emansipasi wanita: seperti menyamaratakan secara absolut peran atau hak pria dan wanita tanpa kecuali, dan keempat, agenda kebebasan berekspresi: seperti hak untuk tidak beragama.

Bahaya2 ghazwul fikri

Sebagai aktifis dakwah kita hendaknya memahami betul akan ancaman ghazwul fikri terhadap umat Islam dan memahami seluk beluk bahayanya. Bahaya-bahaya dari ghazwul fikri diantaranya: tertipu (Q.S. 35:6), cenderung pada orang kafir (QS. 11:13), mencintai orang kafir (QS. 3:118), mentaati orang kafir (QS. 47:26), mengikuti tata cara hidup mereka (QS. 2:120), menyerupai perilaku dan penampilan mereka (QS. 5:51), dan memberikan loyalitas kepada mereka (QS. 5:51). Bahaya-bahaya itu mengakibatkan umat Islam menjadi umat yang hina, mudah dikendalikan, mendapat laknat, dan cobaan Allah, terjatuh dalam syirik, Allah berlepas dari dirinya, murtad dan adzab. Itu semua bias menimbulkan kehidupan jahiliyah.

Maka dari itu, mari kita membentengi diri dengan keyakinan aqidah yang kuat serta menjadikan Al-Qur’an dan sunnah sebagai rujukan hukum dalam kehidupan kita, semoga Allah menjauhkan kita dari keinginan-keinginan untuk mengingkari aturan-aturan-Nya. Amiin.

Ukhuwah Islamiyah

Ukhuwah islamiyah diawali dengan hubungan secara peribadi dan juga secara berjamaah (bersama-sama). Secara peribadi misalnya berjumpa di masjid, sekolah, kampus atau hubungan yang dilakukan secara fardiyah sedangkan hubungan berjamaah biasanya melalui program ammah. Dari hubungan ini maka muncul taaruf yang diawali dengan mengenal fizikal, kemudian melalui perjalanan masa juga akan mengenali pemikiran dan kejiwaannya. Taaruf pemikiran dan nafsiyah (personality, emosi dan kejiwaan) sangatlah penting bagi wujudnya persaudaraan muslim sehingga akan memperlancar perjalanan amal jama’i.

Dari taaruf ini muncul saling memahami (tafahum) yaitu dengan cara menyatukan hati, menyatukan pemikiran dan juga menyatukan amal. Tafahum lancar maka taawun pun dapat diamalkan secara baik. Taawun secara hati (saling mendoakan), secara pemikiran (berbincang dan menasehati), Dan secara amal (bantu membantu).

Berikutnya takaful muncul setelah taawun. Dengan takaful hati saling menyatu, saling menyayangi. Akhirnya muncul kesatuan barisan dan juga kesatuan ummat.

Hasiyah

1.Ukhuwah islamiyah

Syarah

Ukhuwah islamiyah atau persaudaraan islam merupakan ikatan yang akan mewujudkan kekuatan islam. Aqidah yang sudah tertanam di hati aktivis dakwah tetapi tidak diikat dengan ukhuwah maka akan melemahkan kerja dakwah dan matlamat tidak akan tercapai. Persatuan atau jamaah tanpa menjadikan ukhuwah sebagai ikatan maka akan menjatuhkan harakah itu sendiri. Dengan ukhuwah pula kesatuan kerja, amal dan aktiviti akan berlaku. Selain itu juga kesatuan berfikir dan kesatuan di dalam hati akan menambah mantap kekuatan islam.

Setiap orang yang beriman adalah bersaudara, sedangkan perselisihan yang muncul diantaranya adalah sesuatu yang wajar. Sahabat nabi yang mempunyai kualitas aqidah yang tinggi dan sangat dekat dengan Rasulullah SAW pun masih didapati perselisihan. Perselisihan diantara manusia adalah sunnah dan biasa, hanya sahaja bagaimana sekarang ini kita menghadapi hubungan sesama manusia dan perselisihan ini dengan sikap saling memperbaiki dan mengembalikan diri kita kepada Allah SWT melalui ketaatan sehingga Allah akan turunkan rahmah kepada kita.

Persaudaraan di dalam islam adalah sesuatu yang wajib dan perlu diamalkan sehingga mendapatkan kebahagiaan di dunia dan juga di akhirat. Namun demikian, ukhuwah islamiyah ini banyak suka dukanya. Proses dan pelaksanaan ukhuwah islamiyah ini di cabar oleh banyak perkara yang bersifat dalaman diri atau luaran diri. Hawa nafsu dan keadaan persekitaran juga mempengaruhi akidah ini.

Dalil


49:10; Orang-orang mukmin itu bersaudara, sebab itu perdamaikanlah antara dua orang bersaudara mu dan takutlah kepada Allah mudah-mudahan kamu mendapat rahmah

8:1; Mereka itu menanyakan kepada engkau tentang harta rampasan perang. Katakanlah: Harta rampasan perang itu adalah untuk Allah dan Rasul. Sebab itu takutlah kepada Allah dan perbaikilah urusan dintaramu dan ikutlah Allah dan Rasulnya, jika kamu orang beriman.

2.Hubungan peribadi dan secara berjamaah (bersama-sama)

Syarah

Sebagai manusia tentunya kita berhubungan dan bergaul dengan manusia. Tiada manusia yang tidak bergaul dengan manusia, hubungan ini merupakan keperluan dan tuntutan sebagai manusia hidup yang senantiasa saling membantu dan berinteraksi.

Hubungan sesama manusia dapat terlaksana melalui cara peribadi atau secara bersama-sama . Hubungan ini dapat dilaksanakan dimana saja, seperti di tempat bekerja ,di sekolah dan di masyarakat seperti di surau/masjid. Setiap hubungan manusia ini bagi seorang dai akan dijadikannya sebagai pintu untuk menjalankan dakwah.

Persaudaraan islam akan menjadikan hubungan di antara manusia ini sebagai media untuk bertaaruf. Peluang bertaaruf dengan berhubungan sesama manusia secara peribadi biasanya lebih berkesan dibandingkan dengan cara jamai

Dalil

Serah nabawiyah

3.Melaksanakan taaruf

Syarah

Hubungan sesama manusia akan menjadikan kita mengenal individu lainnya. Perkenalan pertama biasanya berhubungan dengan fizikal seperti tubuh, badan, muka, gaya pakaian, gaya berjalan, tingkah laku yang nampak, rumah, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya. Melaksanakan taaruf di awali secara fizikal ini kemudian dilanjutkan mengenal secara pemikiran dan kejiwaan.

Mengenal pemikiran biasanya dilakukan dengan perbincangan, perbentangan, analisa isu semasa, memberikan pandangan, latar belakang pendidikan, kecenderungan berfikir, cara menanggapi sesuatu dan minat kepada tokoh pemikir tertentu.

Mengenal kejiwaan bermaksud mengenal kepribadian, emosi dan tingkah laku. Mengenal sifat dan watak merupakan bahagian mengenal kejiwaan ini. Tanpa mengenal ini maka ukhuwah islamiyah akan mudah terjejas dan diganggu dengan tidak mengenal kejiwaan ini. Setiap manusia adalah unik dan setiap manusia mempunyai cirri-ciri khas tertentu yang membedakan dengan orang lain. Manusia dengan perbedaan latar belakang, perbedaan pendidikan, perbedaan ibu bapa, perbedaan gaya asuh, dan perbedaan-perbedaan lainnya akan membedakan kejiwaan seseorang.

Dalil

49:13;Wahai umat manusia sesungguhnya Kami tela menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra satu dengan yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih taqwanya diantara kamu, (bukan yang lebih keturunan atau bangsa). Sesungguhnya Allah maha mengetahui, lagi maha mendalam pengetahuanNya (akan keadaan dan amalan kamu)

4.Saling memahami

Syarah

Setelah taaruf ini akan mewujudkan suatu keadaan saling memahami. Saling memahami (tafahum) adalah kunci ukuwah islamiyah. Tanpa tafahum maka ukhuwah tidak akan berjalan. Proses taaruf boleh di jadualkan tetapi tafahum ini mesti berjalan seperti berjalannya ukhuwah itu sendiri. Dengan ukhuwah yang diwarnai oleh tafahum menjadikan suasana yang baik dan tenang. Masing-masing individu memahami kekuatan dan kelemahan dan menerima keadaan masing-masing sehingga akan memunculkan taawun dan persaudaraan. Ukhuwah tidak akan berjalan apabila seseorang senantiasa ingin di pahami tetapi tidak berusha memahami orang lain. Ukhuwah berjalan dengan baik apabila muncul saling memahami dan saling menerima masing-masing. Mengenal kawan kita sensitive maka kita faham bagaimana berhubungan dengan dia, begitu juga kita mengenal bahwa teman kita cakapnya keras maka kita faham mengenainya dan tidak perlu marah pula.

Saling memahami terhadap setiap keadaan sahabat ini dilakukan dengan cara menyatukan hati menyatukan pemikiran dan menyatukan amal. Menyatukan hati sebagai langkah yang pertama karena hati adalah asa persatuan. Allah saja yang akan menyatukan hati manusia , kuasa ini tidak pada manusia. Hati yang bersatu maka akan memudahkan persatuan lainnya. Keterikatan juga perlu diteruskan kepada pemikiran dan amal. Dengan tafahum ini maka muncul keterikatan hati, keterikatan pemikiran sesamanya dan keterikatan amal.

Dalil

8:60;Dan sediakanlah untuk menentang mereka (musuh yang menceroboh) segala jenis kekuatan yang dapat kamu sediakan dan dari pasukan-pasukan berkuda yang lengkap sedia, untuk menggerunkan dengan persediaan itu musuh Allah dan musuh kamu serta musuh-musuh yang lain dari mereka yang kamu tidak mengetahui nya; sedang Allah mengetahuinya. Dan apa saja yang kamu belanjakan pada jalan Allah akan disempurnakan balasannya kepada kamu, dan kamu tidak akan dianiaya.

5.Taawun

Syarah

Taawun muncul setelah terlaksananya tafahum sesama kita. Taawun dapat dilaksanakan secara hati (saling mendoakan); secara pemikiran (berbincang dan menasehati); secara amal(bantu membantu). Saling membantu di dalam kebaikan adalah kebahagiaan tersendiri. Manusia tidak akan dapat hidup sendiri sehingga ia mesti hidup bersama-sama. Kebersamaan akan mempunyai nilai apabila kita adakan saling membantu.

Dalil

5:2;&ldots;. Dan hendaklah kamu bertolong-tolongan untuk membuat kebajikan dan bertaqwa, dan janganlah kamu bertolong-tolongan pada melakukan dosa (maksiat) dan percerobohan. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah maha berat azab dan siksaNya (bagi sesiapa yang melanggar perintahnya)

6.Takaful

Syarah

Takaful muncul setelah taawun. Dengan takaful ini maka hati akan saling menyayangi. Takaful berarti merasakan senasib sepenanggungan. Rasa sedih dan susah sahabat kita dapat kita rasakan dan kita serta-merta membantunya. Takaful sebagai tingkat ukhuwah yang tinggi. Takaful terlaksana setelah proses sebelumnya berlangsung. Proses takaful sangat bergantung kepada pelaku-pelaku ukhuwah islamiyah ini. Hadits nabi dan berbagai cerita hubungan para sahabat adalah menggambarkan bagaimana pelaksanaan takaful ini. Sahabat nabi yang merasa kehausan di masa perang kemudian mendengar sahabat lainnya merintih meminta minum maka ia berikan air kepada sahabatnya walaupun ia memerlukan. Contoh mementingkan sahabatnya terlebih dahulu (itsar) adalah ciri ukhuwah.

Dalil

Hadits; Tidak akan beriman seseorang diantaramu apabila kamu tidak mencintai saudaramu seperti kamu mencintai dirimu sendiri.

7.Akhirnya muncul kesatuan barisan dan juga kesatuan ummat

Syarah

Ukhuwah islamiyah dimulai melalui hubungan manusia sebagai aktiviti fitrah manusia dan di warnai dengan huznuzon pada masa tafahum, dan disertai salamatusoddr di masa taawun. Setelah terbentuknya masa kesatuan di dalam berfikir, amal dan hati maka takaful akan menghantarkan kita kepada kesatuan barisan dan juga kesatuan ummat. Umat yang satu barisan dan ummat yang satu dimana satu dari segi fikrah dan matlamat tetapi berbeda dalam kejiwaan akan menjadikan suatu kekuatan islam. Perbedan menjadikan media amal jamai dan menambah dinamik hubungan sesama manusia.

Ringkasan

Ukhuwah islamiyah: hubungan peribadi dan secara berjamaah (bersama-sama)

Melaksanakan taaruf (49:13); secara fizikal, pemikiran dan kejiwaan

Saling memahami dan menyatukan hati (8:60); menyatukan pemikiran; meyatukan amal

Taawun (5:2) secara hati (saling mendoakan); secara pemikiran (berbincang dan menasehati); secara amal (bantu membantu)

Takaful muncul setelah taawun. Dengan takaful hati saling menyatu, saling menyayangi.

Akhirnya muncul kesatuan barisan dan juga kesatuan ummat.

Pentingnya 2 Kalimat Syahadat

Kepentingan syahadat (ahamiyah syahadah) perlu didedahkan kepada mad'u agar dapat betul-betul memahami syahadah secara konsep dan aplikasinya. Kenapa syahadah penting kerana dengan bersyahadah seseorang boleh menyebutkan dirinya sebagai muslim, syahadah sebagai pintu bagi masuknya seseorang kedalam Islam. Kefahaman seorang muslim sangat bergantung kepada kefahamannya kepada syahadah. Dengan syahadah sebagai dasar, seorang muslim dapat melakukan perubahan-perubahan individu, keluarga ataupun masyarakat. Dalam sejarah nabi dan rasul, syahadah sebagai kalimah yang diperjuangkan dan kalimah inilah yang menggerakkan dakwah nabi dan rasul. Akhir sekali, dengan syahdah tentunya setiap muslim akan mendapatkan banyak pahala dan ganjaran yang besar dari Allah SWT.

Hasiyah

1. Ahamiyah syahadah (kepentingan bersyahadah)

Syahadatain adalah rukun Islam yang pertama. Kepentingan syahadah ini kerana syahadah sebagai dasar bagi rukun Islam yang lain dan bagi tiang untuk rukun Iman dan Dien. Syahadatain ini menjadi ruh, inti dan landasan seluruh ajaran Islam. Oleh sebab itu, sangat penting syahadah dalam kehidupan setiap muslim. Sebab-sebab kenapa syahadah penting bagi kehidupan muslim adalah:

* Pintu masuknya ajaran Islam
* Intisari ajaran Islam
* Dasar-dasar perubahan menyeluruh
* Halkikat dakwah para rasul
* Keutamaan yang besar

2. Madkhol ila Islam (pintu masuk ke dalam Islam)

Syarah

* Sahnya iman seseorang adalah dengan menyebutkan syahadatain
* Kesempurnaan iman seseorang bergantung kepada pemahaman dan pengamalan syahadatain
* Syahadatain membezakan manusia kepada muslim dan kafir
* Pada dasarnya setiap manusia telah bersyahadah Rubbubiyah di alam arwah, tetapi ini sahaja belum cukup, untuk menjadi muslim mereka harus bersyahadah Uluhiyah dan syahadah Risalah di dunia.


Dalil

* Hadits: Rasulullah SAW memerintahkan Mu'az bin Jabal untuk mengajarkan dua kalimah syahadah, sebelum pengajaran lainnya
* Hadits: Pernyataan Rasulullah SAW tentang misi Laailaha illa Llah dan kewajiban manusia untuk menerimanya
* Q: 47:19, Pentingnya mengerti, memahami, dan melaksanakan syahadatain. Manusia berdosa akibat melalaikan pemahaman dan pelaksanaan syahadatain
* Q: 37:35, Manusia menjadi kafir karena menyombongkan diri terhadap Laa ilaha illa Llah
* Q: 7:172, Manusia bersyahadah di alam arwah sehingga fitrah manusia mengakui keesaan Allah. Ini perlu disempurnakan dengan syahadatain sesuai ajaran Islam.


3.Kholaso ta'lim Islam (kefahaman muslim terhadap Islam)

Syarah

* Kefahaman muslim terhadap Islam bergantung kepada kefahamannya pada syahadatain. Seluruh ajaran Islam terdapat dalam dua kalimah yang sederhana ini.
* Ada 3 hal prinsip syahadatain: (1) Pernyataan Laa ilaha illa-Llah merupakan penerimaan penghambaan atau ibadah kepada Allah sahaja. Melaksanakan minhajilLah merupakan ibadah kepadaNya. (2). Menyebut Muhammad Rasulullah adalah tauladan dalam mengikuti MinhajilLah. (3). Penghambaan kepada Allah meliputi seluruh aspek kehidupan. Ia mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakatnya.


Dalil

* Q: 2:21, 51:56, Ma'na Laailaha illa-Llah adalah penghambaan kepada Allah. 21:25, Rasul diutus dengan membawa ajaran tauhid.
* Q: 33:21, Muhammad SAW adalah tauladan dalam setiap aspek kehidupan. 3: 31, aktifiti hidup hendaknya mengikuti ajaran Muhammad SAW.
* Q: 6:162, Seluruh aktiviti hidup manusia secara individu, masyarakat dan negara mesti ditujukan kepada mengabdi Allah SWT sahaja, 3: 19, 3:85, 45:18, 6:153, Islam adalah satu-satunya syariat yang diredhai Allah. Tidak dapat dicampur dengan syariat lainnya.


4. Asasul Inqilab (dasar-dasar perubahan)

Syarah

* Syahadatain mampu merubah manusia dalam aspek keyakinan, pemikiran, mahupun jalan hidupnya. Perubahan meliputi berbagai aspek kehidupan manusia secara individu atau masyarakat.
* Ada perbezaan penerimaan syahadatain pada generasi pertama umat Muhammad dengan generasi sekarang. Perbezaan tersebut disebabkan kefahaman terhadap makna syahadatain secara bahasa dan pengertian, sikap konsisten terhadap syahadah tersebut dalam pelaksanaan ketika menerima mahupun menolak.
* Umat terdahulu langsung berubah ketika menerima syahadatain. Sehingga mereka yang tadinya bodoh menjadi pandai, yang kufur menjadi beriman, yang bergelimang dalam maksiat menjadi taqwa dan abid, yang sesat mendapat hidayah. Masyarakat yang tadinya bermusuhan menjadi bersaudara di jalan Allah.
* Syahadatain dapat merubah masyarakat dahulu maka syahadatain pun dapat merubah umat sekarang menjadi baik.


Dalil

* Q: 6:122, Penggambaran Allah tentang perubahan yang terjadi pada para sahabat Nabi, yang dahulunya berada dalam kegelapan jahiliyah kemudian berada dalam cahaya Islam yang gemilang.
* 33:23, Perubahan individu contohnya terjadi pada Mus'ab bin Umair yang sebelum mengikuti dakwah rasul merupakan pemuda yang paling terkenal dengan kehidupan glamour di kota Mekkah tetapi setelah menerima Islam, ia menjadi pemuda sederhana yang da'i, duta rasul untuk kota Madinah. Kemudian menjadi syuhada Uhud. Saat syahidnya rasulullah membacakan ayat ini.
* 37:35 - 37, reaksi masyarakat Qurays terhadap kalimah tauhid 85:6 - 10, Reaksi musuh terhadap keimanan kaum mukminin terhadap Allah 18:2, 8:30, Musuh memerangi mereka yang konsisten dengan pernyataan Tauhid.
* Hadits: Laa ilaaha ilaLlah kalimat yang dibenci penguasa zalim dan kerajaan.
* Hadits: Mereka yang konsisten dengan syahadatain akan menang dan mereka yang memusuhinya akan kalah dan hancur.
* Hadits: Janji rasul bahwa kalimah tauhid akan memuliakan kaumnya.


5. Haqiqat dakwah rasul

Syarah

* Setiap Rasul semenjak nabi Adam AS hingga nabi besar Muhammad SAW membawa misi dakwahnya adalah syahadah
* Makna syahadah yang dibawa juga sama iaitu laa ilaaha ilalLah
* Dakwah rasul sentiasa membawa umat kepada pengabdian Allah sahaja


Dalil

* Q: 60:4, Nabi Ibrahim berdakwah kepada masyarakat untuk membawanya kepada pengabdian Allah sahaja.
* Q: 18:110, Para nabi membawa dakwah bahawa ilah hanya satu iaitu Allah sahaja


6. Fadailul A'dhim (ganjaran yang besar)

Syarah

* Banyak ganjaran-ganjaran yang diberikan oleh Allah dan dijanjikan oleh Nabi Muhammad saw.
* Ganjaran dapat berupa material ataupun moral./ Misalnya kebahagiaan di dunia dan di akhirat, rezeki yang halal dan keutamaan lainnya
* Keutamaan ini selalu dikaitkan dengan aplikasi dan implikasi syahadah dalam kehidupan sehari-hari
* Dielakkannya kita dari segala macam kesakitan dan keseksaan di dunia ataupun di akhirat.


Dalil

* Q: Allah SWT memberikan banyak keutamaan dan kelebihan bagi yang bersyahadah
* H: Allah SWT akan menghindarkan neraka bagi mereka yang menyebut kalimah syahadah


Ringkasan

Kepentingan syahadatain : (4:41, 2:143)

1. Pintu masuk ke dalam Islam : (a)
2. Intisari ajaran Islam : (b, 21:25)
3. Dasar-dasar perubahan total: (6:122, 13:11) peribadi dan masyarakat
4. Hakikat Dakwah para Rasul a.s : (21:25, 3:31, 6:19, 16:36)
5. Kelebihan yang besar
 

Obrolan

Ads Banner

Followers

Catatan Tarbiyah Copyright © 2009 Daya Mandiri Designed by Rizky Priyatna